Dari Gelar Konsultasi Publik
Oleh Frans Anggal
JPIC Keuskupan Ruteng dan OFM Indonesia menggelar konsultasi publik di Serise, Kabupaten Manggarai Timur, Sabtu 11 Desember 2010. Dimoderatori Marianus Kisman (staf JPIC OFM), acara ini tampilkan 4 pembicara. Pius Hamid, anggota DPRD Matim. Sri Palupi, Direktur Institute for Ecosoc Rights Jakarta. Rm Charles Suwendi Pr, Ketua JPIC Keuskupan Ruteng. Emil Sarwandi staf JPIC OFM (Flores Pos Senin 13 Desember 2010).
Menurut Koordinator JPIC OFM Flores Pater Matheus Batubara OFM, hadir dalam acara ini, seluruh warga Serise, Suster Winandi SMSJ, dan mahasiswa Stipas Ruteng. Dari unsur pemerintah tak ada yang hadir.
Ada dua hal pokok yang ditekankan. Yaitu, apa yang sesungguhnya terjadi (das Sein) dan apa yang seharusnya dilakukan (das Sollen). Yang terjad: penambangan mangan di Serise oleh PT Arumbai Mangbekti hancurkan tanah adat “lingko”. Penumpukan dan pengolahan mangan di tengah kampung merusak kesehatan warga. Sudah tiga warga buruh tambang meninggal dengan gejala yang sama: demam, rasa panas di dada, perut, dan hati. Pencemaran laut oleh aliran air bercampur mangan membuat ikan dan aneka biota laut musnah. Ledakan bom saat eksploitasi membuat warga tidak aman.
Yang harus dilakukan: ruang hidup yang telah dihancurkan tambang harus dikembalikan dan dipulihkan. Bebaskan Serise dari perbudakan tambang. Jangan ada lagi Serise baru di Manggarai Raya. Derita dan kematian cukup di Serise, jangan lagi di tempat lain.
Dengan mencuatkan apa yang terjadi di Serise, konsultasi publik hendak mengajak para pihak, terutama pengambil kebijakan, menatap wajah Serise. Demi itulah “Bentara” Flores Pos Selasa 30 November 2010 mendesak bupati datang ke Serise. Uskup sudah ke sana, menatap wajah mereka.
Apa pentingnya? Filosof Emmanuel Levinas mengatakan, derita baru melepaskan selubungnya bila tertera pada wajah sesama. Pada saat itulah terbuka alam transenden. Sebuah dimensi baru akan mulai tampak ketika wajah sesama manantang kita, berseru kepada kita.
Wajah Serise tidak tampak di mata pemerintah. Bagimana bisa tampak, wajah mereka tidak ditatap. Bagaimana bisa ditatap, mereka tidak dikunjungi. Bahkan pada konsultasi publik yang strategis itu, pemerintah tidak datang. Orang sering menilai ini pertanda superioritas kekuasaan. Dalam kasus lain, boleh jadi begitu. Dalam kasus Serise, tampaknya tidak demikian.
Tidak hadirnya pemerintah dalam konsultasi publik bukan pertanda superioritas. Itu pertanda inferioritas. Sebab, argumentasi apa yang dimiliki pemerintah untuk bisa membantah wajah Serise? Tidak ada! Serise sudah kehilangan ruang hidup dan hancur. Pemerintah tidak bisa membantah itu, maka melakukan penghindaran (avoidance). Psikologi Gestalt mengenal penghindaran sebagai salah satu bentuk pertahanan (defense) menghadapi situasi sulit.
Ini sandiwara. Secara moral, sangat buruk. Sebab, dipentaskan di atas derita masyarakat. Ruang hidup Serise telah dirampas tambang. Dikeruk. Dirusakkan. Ketika warga pertahankan dengan menduduki dan memagarinya, pemkab diam, DPRD bungkam. Ketika polisi membongkar paksa dan menangkap pemimpinnya, pemkab diam, DPRD bungkam. Quo vadis Manggarai Timur?
Wajah Serise adalah wajah-wajah derita. Datanglah dan tataplah! Maka wajah-wajah itu akan berseru: bebaskan kami dari perbudakan tambang! Kembalikan, pulihkan ruang hidup kami! Jangan lagi derita kami berulang pada yang lain!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 14 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar