Solusi Kasus Tambang di Matim
Oleh Frans Anggal
Setelah sepekan memagari dan menduduki lokasi tambang mangan di tanah adat (lingko) Rengge Komba milik mereka. warga Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Matim, menggelar ritus adat takung ceki ali rewak lingko, Sabtu 27 November 2010. Mereka korbankan seekor babi bagi nenek moyang karena lingko telah hancur oleh eksploitasi mangan (Flores Pos Senin 29 November 2010).
Ini ritus rekonsiliasi dengan roh nenek moyang (ceki). Dalam perasaan religius masyarakat adat, nenek moyang pasti marah. Anak cucu tidak tahu menjaga tanah warisan leluhur (mbate dise ame, redong dise empo). Mereka lengah dan lalai, sehingga tanah leluhur akhirnya diklaim oleh pihak yang tidak berhak dan dieksploitasi oleh pihak yang tidak pernah mereka serahi tanah itu untuk ditambang. Tanah itu kini terluka (rewak). Mereka telah berdosa terhadap leluhur dan alam. Mereka khawatir akan murka. Lewat kurban (takung) ini mereka mohon pengampunan, perdamaian, dan berkat untuk hidup selanjutnya.
Ritus dipimpin Siprianus Amon, dihadiri warga Serise, tu’a teno Weleng, tu’a teno Luwuk, tu’a teno Satarteu, dan Kades Satarpunda Bernabas Raba. Tu’a teno itu semacam kepala pertanahan dalam adat. Kehadiran mereka, terutama tu’a teno Satarteu, merupakan pengakuan bahwa lingko Rengge Komba milik Serise, bukan milik Satarteu. Selama ini PT Arumbai selalu beralasan, penambangannya sah karena telah direstui warga Satarteu selaku pemilik lingko.
Menurut Pater Mateus Batubara OFM dari JPIC OFM Indonesia, semua tua adat yang hadir menegaskan, lingko Rengge Komba milik Serise. “Tua-tua adat yang omong hari ini bukan sembarangan. Mereka tahu sejarah. Pertahankan hak ini!” tandas Kades Satarpunda Bernabas Raba.
Hadirnya 7 tua adat Satarteu dalam ritus ini semakin memberi pengukuhan. Sekaligus, menunjukkan bahwa antara Serise dan Satarteu tidak ada masalah. “Pihak-pihak lain saja yang mencari-cari cara untuk membenturkan Serise dengan Satarteu,” kata Pater Mateus.
Pernyataan ini penting. Pertama, PT Arumbai selalu beralasan penambangan di Rengge Komba sah karena telah direstui warga Satarteu sebagai pemilik lingko. Ini bisa berdampak---kalau tidak dikatakan bertujuan---melahirkan konflik horizontal antar-masyarakat adat. Tidak mengejutkan. Ini laku umum pertambangan di Indonesia. Devide et impera. Pecah-belahkan dan kuasai.
Kedua, Bupati Yoseph Tote barusan membuat pernyataan bahwa masalah di Serise itu bukan masalah tambang, tapi masalah tanah (Flores Pos Kamis 25 November 2010). Ini bisa berbahaya. Di satu sisi meluputkan PT Arumbai dari tanggung jawab dan tanggung gugat, di lain sisi membenturkan Serise dengan Satarteu. Yang pertama itu merusak keadilan. Yang kedua itu merusak kedamaian. Sedangkan PT Arumbai boleh terus merusak lingko.
Ini dasar mengapa warga Serise menolak datang ke Dampek untuk hadiri pertemuan dengan PT Arumbai dan tua adat Satarteu yang difasilitasi bupati. Mereka kecewa dengan cara wawas pemkab yang buntungkan mereka dan untungkan PT Arumbai. Kalau kasus Serise sekadar masalah tanah dan bukan masalah tambang maka konsekuensinya jelas: penambangan boleh jalan terus. Ini yang mereka tolak. Mereka justru mendesak penambangan dihentikan.
Bupati perlu memahami gejolak hati dan pikiran masyarakat Serise. Derita, kecemasan, dan harapan mereka hanya bisa terekam baik kalau bupati menangkap langsung dan lengkap atmosfer sikon empirik di lokasi sengketa. Bupati perlu ke sana. Sekaligus memenuhi permintaan warga. Datanglah, lihat langsung dan dengar langsung. Tidak cukup sampai di Dampek.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 30 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar