Gereja dan Tolak Tambang di Flores-Lembata
Oleh Frans Anggal
Pekan ini, Flores-Lembata seperti dikepung tolak tambang. Di timur, dilakukan oleh berbagai elemen civil society, yang menggelar Mubes V Petani dan Nelayan, di Hokeng, 27-30 Oktober 2010. Di barat, dilakukan tidak hanya oleh elemen civil society tapi juga oleh pemkab.
Di timur, petani dan nelayan Flores-Lembata dan pulau sekitarnya bersikukuh menolak segala upaya eksplorasi dan eksploitasi tambang. Karena itu, mereka juga menolak segala upaya regulasi dan kebijakan yang membahayakan keselamatan ekologi dan ekososial (Flores Pos Rabu 3 November 2010).
Di barat, di Labuan Bajo, ibu kota Mabar, Senin 1 November 2010, Geram gelar unjuk rasa tolak tambang. Pada hari itu juga, Bupati Agus Ch Dula gelar pertemun dengan para investor tambang. Di hadapan investor, ia nyatakan tolak tambang. Di hadapan Geram, ia juga nyatakan tetap tolak tambang (Flores Pos Rabu 3 November 2010).
“Dalam pertemuan kami dengan investor barusan, kami nyatakan sikap bahwa kami tolak tambang,” kata bupati, disambut tepuk tangan aktivis Geram. Ia lalu bertanya: kalau investor tambang lakukan sosialisasi, apakah Geram setuju? Tidak, jawab Ketua Umum Florianus Suryon. “Kalau begitu, baik,” kata bupati. “Kami akan tindak lanjuti.”
Dalam sejarah tolak tambang di Flores-Lembata, wacana dan perjuangannya dimulai di timur, di Lembata. JPIC SVD Ende, JPIC OFM Indonesia, dan berbagai elemen civil society turun gunung. Masyarakat pun tercerahkan dan sadar. Mereka ambil sikap jelas-tegas-definitif tolak tambang. Sikap ini justru tidak diperlihatkan hierarki Gerejanya. Tercitra: di hadapan penguasa, Gerejanya bungkam. Di hadapan krisis, Gerejanya gamang.
Sikap Gereja seperti ini kontributif bagi ngototnya Pemkab Lembata loloskan tambang. Belum lolos. Tapi DPRD-nya mulai pecah belah saat bahas Ranperda RTRW. Perda itu pintu masuk tambang. Kalau pintu ini terbuka sehingga akhirnya ekologi dan ekososial Lembata hancur, Gereja ikut berdosa.
Gereja harus independen, tapi bukan netral. Dalam hal tambang, netral itu sikap yang salah secara logis, buruk secara etis, dan berbahaya secara praktis. Allah, menurut Alkitab, bukankah Allah yang netral. Teks-teks Alkitab gamblang menggambarkan Allah yang berpihak pada kaum miskin, orang-orang kecil (Herman Hendriks CICM: 1985). Kenapa?
Allah memihak mereka bukan karena mereka lebih baik dan lebih saleh. Bukan. Allah memihak, karena mereka tidak berdaya, kurang diperhatikan sesama, dan karenanya mudah jadi korban. Pada prinsipnya, Allah perhatikan semua orang. Ia mau selamatkan seluruh umat manusia. Namun, perhatian-Nya pertama-tama ditujukan pada titik di mana kemanusiaan paling terancam.
Ketika di timur Flores-Lembata fajar ilahi itu seakan tak menyingsing, kita kecewa. Namun kita dilegakan tatkala matahari itu terbit di barat. Gereja Keuskupan Ruteng jelas-tegas tolak tambang. Buahnya pun mulai nyata. Pemkab Mabar pun akhirnya tolak tambang.
Flores-Lembata “pulau Katolik”. Gereja Katolik masih tetap jadi referensi utama etika dan moral publik. Bungkamnya Gereja di hadapan penguasa, dan tidak jelas-tegasnya keberpihakannya dalam (ancaman) krisis lingkungan, tragedi kemiskinan, dan pelanggaran HAM, hanya akan membuat umat kehilangan pegangan bersama, tercerai-berai, dan akhirnya selalu mudah dimangsa.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 4 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar