Masyarat Adat Datangi Bupati & DPRD Matim
Oleh Frans Anggal
Sekitar 300 warga masyarakat adat Golokoe Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), berunjuk rasa ke kantor bupati dan DPRD Matim di Borong, Selasa 9 November 2010. Mereka memprotes eksploitasi tambang mangan oleh PT Arumbai. "Kembalikan ruang hidup kami”, tema aksi mereka (Flores Pos Kamis 11 November 2010).
Mereka datang dari jauh di utara, ke selatan, ke ibu kota kabupaten. Mereka didampingi JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC OFM Indonesia, GMNI, PMKRI, dan SPI.
Di kantor bupati, mereka gagal temui bupati. Bupati sedang rapat di dewan. Penerimaan di sini jelek. Mereka berorasi di bawah terik, lalu serahkan pernyataan sikap. Diterima Kadistamben Thomas Ngalong. Di gedung DPRD, mendingan. Tiga puluh wakil dibolehkan masuk, temui bupati, wabup, dan dewan. Itupun setelah bersitegang di luar.
Dalam orasi di halaman kantor bupati, mereka mendesak pemerintah meninjau kembali izin PT Arumbai serta menghentikan ekploitasi di Lingko Rengge Komba. Lingko (tanah persekutuan adat) ini milik mereka. Di gedung DPRD, mereka mendesak pembentukan pansus. Dewan berjanji membahasnya. Sedangkan bupati berjanji memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait.
Sebelumnya, Kamis 4 November 2010, mereka berdemo ke PT Arumbai di lokasi tambang. Mereka mendesak penghentian eksploitasi. Wilayah itu tanah mereka, yang tidak pernah mereka izinkan ditambang. Perusahaan berdalih telah mendapat restu warga Satar Teu. Padahal, wilayah itu bukan milik warga Satar Teu (Flores Pos Jumat 5 November 2010).
Ada dua masalah mendasar di sini. Pertama, masalah prosedural: penambangan itu tidak seizin pemilik tanah, alias hanya seizin pihak yang justru bukan pemilik. Kedua, persoalan substansial: rusaknya lingkungan, yang nyata terbukti telah dan akan terus berdampak luas: hancurnya lahan pertanian rakyat, miskin dan sengsaranya masyarakat (“Bentara” Flores Pos, Sabtu 6 November 2010).
Dilatari dua masalah mendasar ini, tema aksi mereka sangat tepat: “Kembalikan ruang hidup kami”. Dengan sadar dan sengaja mereka menyebut lingko sebagai ‘ruang hidup’ (Lebensraum). Ruang hidup bukan sekadar tanah, bukan sekadar lingko. Ruang hidup adalah segenap keluasan dan keleluasaan, di dalamnya segala hal dari hidup dan kehidupan mendapat tempat.
Bagi orang Manggarai, ruang hidup mencakup mbaru bate ka’eng (rumah), natas bate labar (kampung halaman), uma bate duat (kebun), dan wae bate teku (sumber air). Keempatnya satu kesatuan integratif dan holistik. Satu saja unsurnya dirusakkan maka keseluruhan ruang hidup itu rusak. Justru inilah yang dilakukan tambang. Monster ini tidak hanya merampas ruang itu, tapi juga menghancurkannya.
Dalam konteks ini, apa makna desakan “kembalikan ruang hidup kami”? Keliru bahkan naïf kalau itu hanya bermakna imperatif mengembalikan lingko kepada pemiliknya. Desakan itu harus juga bermakna kewajiban memulihkan lingko oleh pihak yang telah merusakkannya. Dengan kata lain, harus ada rehabilitasi, apa pun bentuknya. Paling realistis, berupa pembayaran ganti rugi.
DPRD sudah berjanji akan membicarakan pembentukan pansus. Bupati sudah berjanji akan memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait. Kita berharap, agenda setting mereka tidak menyimpang dari konteks itu. Kembalikan ruang hidup masyarakat!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar