Jadikan Ruteng Aman, Nyaman, Tertib
Oleh Frans Anggal
Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, adalah kota dingin yang cantik. Pada zaman penjajahan Belanda, dalam hal satu ini, Ruteng disetarakan dengan Bandung. Kalau Bandung itu “Paris van Java”, Ruteng itu “Bandung van Flores”.
Didukung hospitalitas masyarakatnya, “Bandung van Flores” kala itu tercitra sangat positif. Sekarang? Simaklah beritanya. Pertama: ”Polisi Kembali Tangkap Penjudi Kartu”. Ini judul berita utama Flores Pos Rabu 5 Mei 2010. Kata ”kembali” itu menunjukkan berulangnya penangkapan, karena berulangnya perjudian. Ruteng identik dengan dan masih tetap sebagai kota penjudi.
Beberapa tahun lalu, di Ruteng, beberapa anggota DPRD 2004-2009 tertangkap tangan berjudi kartu. Ada yang masuk penjara. Itu judi kelas berat. Judi kelas ringannya tak terbilang. Yang kaya, yang miskin, laki-laki, perempuan, suka judi. Berbagai upaya penyadaran dan pemberantasan sudah dilakukan, baik oleh negara maupun oleh Gereja. Belum mempan.
Berita kedua: “Sepeda Motor Raib Sekejap”. Ini judul berita utama Flores Pos Kamis 4 November 2010. Kejadiannya di Ruteng juga, siang hari, di pelataran parkir BRI. Teras beritanya: “Pencurian di siang bolong kembali terjadi di kota Ruteng. Pekan lalu, uang Rp30 juta raib dari mobil. Kali ini, sepeda motor ….”
Berita ini ditutup dengan pernyataan Kasat Reskrim Okto Wadu Ere, “… belakangan ini marak pencurian di kota Ruteng dan sekitarnya.” Frasa “belakangan ini”---kalau polisi mau jujur---harus diganti dengan frasa “beberapa tahun terakhir”. Pencurian bukan hanya berulang, tapi sudah marak. Makna leksikal kata “marak”: terang, mencolok. Makna popularnya: ramai. Bayangkan, ramainya pencurian.
Dengan gejala ini, tampaknya Ruteng tidak cukup digelari kota penjudi. Atributnya kini bertambah: kota pencuri. Dengan dua penyakit sosial ini, yang tak lapuk kena hujan pemberantasan, huruf “n” pada “Bandung van Flores” tampaknya harus dicopot. Ruteng kini hanyalah “Badung van Flores”. Badung berarti nakal, bandel, susah diajar.
Betapa tidak badung. Penangkapan berulang-ulang, pemenjaraan berkali-kali, publikasi bertubi-tubi, namun judi dan sekarang curi tidak semakin berkurang. Belasan tahun lalu, Gereja Keuskupan Ruteng sampai bikin lokakarya, rekoleksi, katekese, dan doa khusus menghilangkan judi. Belum mempan.
Kota “badung” mengingatkan kita akan Medellin di Kolombia. Era 1980 hingga 1990-an, Medellin terkenal sebagai kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia. Kota ini paling berkuasa dalam perdagangan narkoba internasional, dengan organisasi terkenalnya Medellin Cartel pimpinan Pablo Escobar, yang selalu menyebabkan Kolombia tidak aman. Pada 1991 tercatat 6.349 pembunuhan, 10 kali lipat dari Chicago di AS. Tahun 1981 pemerintah AS menutup konsulernya di kota ini dengan alasan keamanan (http://id.wikipedia.org).
Namun kini, di awal abad 21, Medellin berubah. Citranya membaik. Pemerintah dan warga kota bahu-membahu menghapus citra buruk Medellin. Perubahan sosial dan ekonomi terasa. Tahun 2005 tingkat pembunuhan menurun hingga pada posisi terendah selama 20 tahun terakhir. Medellin akhirnya bisa menjadi kota aman bagi penduduk dan wisatawan.
Kalau Medellin bisa, kenapa Ruteng tidak. Kita titipkan harapan ini pada Credo Jilid II. Jilid II itu jilid pamungkas, masa jabatan terakhir Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno. Jadikan Ruteng kota aman, kota nyaman, kota tertib.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar