Demo Tolak Tambang di Lembata
Oleh Frans Anggal
Demo tolak tambang ke kantor bupati dan DPRD di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Rabu 24 November 2010, sungguh dramatis. Di satu sisi demo itu mengharukan. Di lain sisi demo itu menyedihkan.
Mengharukan. Jumlah demonstran 2.000-an. Tidak hanya berjumlah besar, aksi ini berdaya dukung luas. Demo tidak hanya libatkan masyarakat wilayah Kedang dan Leragere yang merupakan incaran tambang emas dan tembaga, tapi juga sertakan warga beberapa kecamatan. Para kades pun ikut beraksi. Demonstran bertahan dari siang hingga pukul 20.30.
Hal mengharukan ini menampakkan, betapa tolak tambang di Lembata telah jadi gerakan sosial masyarakat akar rumput. Gerakan sosial ini ditandai solidaritas, soliditas, dan militansi. Karena itu, masyarakat tidak sekadar berslogan ketika berpekik, “tolak tambang harga mati”, “tolak tambang sampai titik darah terakhir”. Hasilnya nyata. Sampai detik ini tambang belum masuk.
Ini buah perjuangan panjang sejak 2006. Selama itu, mereka berjuang sendirian dalam kebersamaan, dan berjuang bersama dalam kesendirian. Tidak hanya “tanpa” dukungan bupati dan DPRD, perjuangan mereka justru “melawan” bupati dan DPRD. Orang yang dulu mereka pilih dengan penuh harapan, kini mereka hadapi dengan penuh kekecewaan.
Perjuangan melawan arogansi penguasa ini adalah pertarungan. Ini perang. Dalam kultur masyarakat Flores-Lembata dan NTT umumnya, perempuan tidak turun ke palagan menghadapi musuh. Mereka cukup berada di fron paling belakang, memainkan peran domestik dan logistik. Kalau mereka sampai ikut ke medan laga, itu berarti mereka sudah tidak tahan.
Justru hal seperti inilah yang terjadi pada demo hari itu. Dari 2.000-an demonstran, mayoritasnya adalah perempuan, khususnya ibu-ibu. Dalam pandangan modern, sudah seharusnya perempuan turut berjuang tolak tambang. Sebab, pertambangan memicu kekerasan dan ketidakadilan terhadap mereka. Mereka kelompok paling rentan menghadapi dampak pertambangan. Mereka dijauhkan dari sumber penghidupannya semula. Pencemaran menyebabkan mereka mengalami masalah dalam sistem reproduksi.
Dalam pandangan tradisional---dan itulah yang terjadi pada demo di Lembata---bacaannya lain. Perempuan adalah personifikasi “kerahiman” yang terpaksa masuk ke ranah perjuangan “keadilan” tolak tambang yang secara kultural seharusnya hanya dipersonifikasikan laki-laki. Artinya apa? Di mata masyarakat tradisional itu, ngotot tambang eksekutif-legislatif Lembata sudah sangat bobrok. Sedemikian bobroknya sehingga memaksa perempuan ikut berdemo sambil membawa bekal dari kampung.
Pada titik ini, demo mengharukan itu adalah juga demo menyedihkan. Yang menyedihkan bukan ibu-ibu. tapi bapak-bapak, khususnya bapak bupati. Bapak DPRD mendingan, bersedia menemui demonstran. Bapak bupati tidak. Dia cuma kirim dua utusan: asisten satu setda dan kapolres. Makin menyedihkan, ternyata bapak bupati ini berbohong.
Via kapolres, kepada massa, dia bilang dia tidak pernah keluarkan surat izin tambang. Eh, selang beberapa jam, kepada utusan massa dia bilang, dia pernah keluarkan izin tambang. Dan, kepada wartawan dia akui, pemkab sudah terima Rp1,7 miliar dari PT Puku Afu Indah, anak perusahaan Merukh Enterprises, sebagai dana jaminan kesungguhan investor. Namun, katanya lagi, dana itu sudah dikembalikan. “Karena itu, untuk sementara kita sedang melakukan penangguhan perizinan penambangan kepada PT Puku Ufu Indah.”
Benarkah itu? Jangan-jangan ini pembohongan jilid dua.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 November 2010
1 komentar:
Terimakasih om Frans Anggal untuk kisah mengharukan sekaligus menyedihkan ini. semoga cerita ini sampai ke telinga semua mereka yang kita 'pertuan' lalu lupa diri dari mana mereka berasal...
Posting Komentar