Tolak Tambang di Lembata
Oleh Frans Anggal
Sekitar 2-000-an massa menggelar aksi tolak tambang di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Rabu 24 November 2010. Mereka, warga dari Kecamatan Lebatukan, Kecamatan Kedang, dan beberapa kecamatan lain. Turut serta dalam aksi ini, empat kepala desa. Massa bergerak bersama beberapa elemen civil society seperti Barisan Rakyat Kedang Bersatu dan JPIC SVD (Flores Pos Kamis 25 November 2010).
Dalam pawai menuju kantor DPRD dan kantor bupati, mereka pekikkan yel dan bentangkan poster: tolak tambang harga mati. Dalam orasi, mereka tegaskan: tetap menolak tambang sampai titik darah penghabisan. Mereka mengecam pihak-pihak yang mencatut nama mereka mendukung tambang. Mereka meminta bupati dan DPRD tidak menjadi antek perusahaan tambang.
Di kantor DPRD, mereka mendesak agar pasal 50 dalam ranperda RTRW, yang memuat frasa “mineral, logam, dan radioaktif”, digugurkan. Di kantor bupati, mereka mendesak Bupati Andreas Duli Manuk menemui mereka. Bupati menolak dan hanya mengutus Asisten I Setda Nico Padji Liarian. Kepada wartawan, bupati katakan, “Mereka demo tolak tambang tidak relevan, tidak beralasan, dan demo kepada siapa?”
Ini mencengangkan. Seorang bupati tidak mampu melihat relevansi, alasan, dan sasaran demo yang sedang digelar warganya. Orang di luar Lembata, yang notabene bukan bupati, gampang koq melihat itu. Demo tolak tambang oleh 2.000-an massa itu relevan, beralasan, dan bersasaran jelas.
Relevan, karena menyangkut ranperda RTRW usulan bupati yang sedang dibahas DPRD. Ranperda itu memuat pasal krusial yang memudahkan masuknya tambang yang oleh masyarakat justru sudah ditolak. Mereka berdemo karena bupati dan sebagian DPRD masih ngotot tambang. Jadi, tidak hanya relevan, demo mereka beralasan. Demo kepada sapa? Ya jelaslah kepada bupati (pengusul ranperda) dan DPRD (pembahas ranperda).
Kalau benar bupati tidak mampu melihat relevansi, alasan, dan sasaran demo, itu salahnya sendiri. Dia cuma berani omong sama wartawan. Dengan demikian, dia tidak segera mendapat tanggapan dan jawaban atas apa yang dia nyatakan dan dia tanyakan. Seandainya dia berani temui massa, semuanya segera jelas.
Namun, akal sehat kita berteriak: tidak mungkin bupati tidak tahu! Kalau mau jujur, bupati tahu koq relevansi, alasan, dan sasaran demo hari itu. Patut dapat diduga, dia cuma berlagak tidak tahu. Untuk itulah dia ‘harus’ bertanya. Maka, pertanyaannya itu kedok kemunafikan, bukan tanda ketidaktahuan.
Bupati bikin sewot massa. Syukur, DPRD-nya tidak. Demonstran diterima baik oleh Wakil Ketua Dewan Yos Meran Lagour. Tanggapannya terhadap desakan agar gugurkan pasal krusial ranperda pun cukup bisa diterima oleh massa. Ada tiga pernyataannya yang patut disimak.
Pertama, jika pasal krusial tetap diakomodasi, maka kepentingan rakyat tetap diutamakan. Kedua, jika kehadiran massa ini representatif, maka tidak ada jalan lain bagi DPRD menolak tambang dan menggugurkan pasal krusial itu. Ketiga, jika masih ada perbedaan pendapat di kalangan DPRD, maka sampai kapan pun ranperda RTRW tidak bisa ditetapkan menjadi perda.
Ketiga pernyataan itu diawali kata “jika”. Bersifat kondisional. Kata kuncinya: kondisi, sebagai prasyarat. Maka, pesan bagi masyarakat tolak tambang: pilih yang mana. Kalau sudah pilih, ciptakanlah kondisinya. Selamat berjuang!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar