Lebih Penting daripada Tupoksi?
Oleh Frans Anggal
Anggota DPRD Mabar, Bernadus Barat Daya, mengembalikan 4 setelan uniform dewan karena merasa haknya dikebiri Ketua DPRD Mateus Hamsi. Pada sidang paripurna Selasa 2 November 2010, ia minta bicara, tapi tidak diberi kesempatan oleh ketua yang saat itu memimpin sidang. Konon, ini semacam sanksi, karena Barat Daya tak kenakan uniform.
“Tiga kali saya interupsi, menanyakan tatib mana yang dilanggar, tetapi tidak digubris ketua dewan,” katanya. Ia pun pulang ke rumah mengambil 4 setel uniform, lalu balik lagi ke ruang sidang untuk memulangkannya ke DPRD (Flores Pos Senin 8 November 2010).
Kenapa ia tidak kenakan uniform? Alasannya, ternyata, sederhana. Keempat setelan yang pengadaannya dibiayai APBD itu kesesakan. Hambatan teknis ini mendorongnya menempuh solusi praktis. Ia tetap hadiri sidang meski tidak beuniform.
Selain praktis, solusi itu bijaksana. Barat Daya tahu akan skala nilai. Yang penting, hadir dan aktif dalam sidang, meski tidak beruniform. Ini lebih terhormat ketimbang: yang penting beruniform, meski hanya diam selama sidang.
Ini tidak dilihat oleh Mateus Hamsi. Tidak dilihat, karena tidak ditanyakan. Sendainya ditanyakan, persoalannya klir dan transparan. Mateus Hamsi hanya mendalihkan tindakannya pada aturan. “Soal seragam, ada rambu-rambunya. Anggota dewan semestinya taati itu,” katanya.
Itu benar, tapi bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih penting. Yaitu: tupoksi dan hak anggota dewan. Di hadapan tupoksi dan hak anggota dewan, uniform hanya boleh mendukung, tidak boleh menghambat. Tupoksi dan hak merupakan substansi, sedangkan uniform hanya aksidensi. Seamsal rambut bagi manusia, demikianlah uniform bagi anggota dewan. Manusia disebut manusia karena berakal budi, bukan karena berambut. Berambut atau tanpa rambut, manusia tetap manusia, asalkan berakal budi.
Beruniform atau tanpa uniform, dewan tetaplah dewan sejauh melaksanakan tupoksi dan haknya dengan baik dan benar. Apalah artinya beruniform kalau anggota dewan bermental 5D belaka: datang, duduk, dengar, diam, duit. Sebagai aksidensi, uniform hanyalah aksesori. Sama seperti cincin bagi jari, gelang bagi tangan, kalung bagi leher, anting bagi telinga.
Diwawas secara demikian, insiden Barat Daya tidak beruniform itu persoalan kecil, teknis, aksesoris. Itu tidak boleh menghambat tupoksi dan hak seorang anggota dewan. Salah satunya, hak berbicara. Hak ini tidak boleh dihilangkan hanya karena anggota dewan tidak beruniform. Ini yang justru dilakukan Mateus Hamsi. Tindakannya salah dan naïf.
Kesalahan dan kenaifan itu membangkitkan sikap Barat Daya. Ia tidak akan memakai uniform dewan hingga masa baktinya berakhir. “Bagi saya, seragam bukanlah hal penting. Yang lebih penting adalah melaksanakan tupoksi sebagai wakil rakyat. Saya jadi DPRD karena dipercaya oleh rakyat, dan saya loyal kepada rakyat, bukan loyal kepada seragam. Saya tidak pernah takut pada tatib ataupun bentuk tekanan di dewan.”
Ini sikap radikal. Berasal dari kata Latin, radix, yang berarti “akar”. Sebagai radix, sikap Barat Daya menukik ke kedalaman, ke substansi, justru karena sikap Mateus Hamsi mengambang dangkal di permukaan, di aksidensi. Dengan ini, Barat Daya melakukan perimbangan. Dan sesungguhnya ini juga gerakan kembali ke dasar (back to basic), ke perihal mengapa dan untuk apa DPRD ada.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar