Tambang Mangan di Serise
Oleh Frans Anggal
Masyarakat adat Serise, Kecamatan Lambaaleda, Kabupaten Matim, berdemo ke PT Arumbai, Kamis 4 November 2010. Mereka desak perusahaan tambang mangan itu hentikan eksploitasi. Wilayah itu tanah mereka, yang tidak pernah mereka izinkan ditambang (Flores Pos Jumat 5 November 2010).
“Selama ini pihak perusahaan beralasan, usaha itu bisa dilakukan karena telah dapat restu warga Satar Teu. Padahal, lokasi itu tanah lingko milik warga Serise. Karena itu warga tolak dan mau usir perusahaan itu,” kata Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng, Romo Chrales Suwendi Pr.
Kepala Perwakilan PT Arumbai, Ahmadi, mengajak duduk bersama dan berdiskusi, melibatkan pemkab dan DPRD. Ia juga tawarkan, “Kalau merasa keberatan dengan perusahaan kami, silakan ajukan proses hukum. PT Arumbai legal melakukan aktivitas di lokasi yang ada saat ini.”
Menambang di lokasi tanpa izin pemilik tanah. Inilah dasar penolakan masyarakat Serise. Restu warga Satar Teu yang didalihkan perusahaan adalah restu tidak berdasar. Tanah bernama Lingko Rengge itu milik Serise, bukan milik Satar Teu. Perusahaan mendapat restu dari pihak yang tidak berhak. Prosedurnya tidak legal. Maka, penambangnya tidak legal.
Dasar lain penolakan adalah dampaknya. Eksploitasi sudah 30 tahun, sejak 1980-an. Semula oleh PT Aneka Tambang, lalu oleh PT Arumbai sejak 1997. Lubang tambang menganga lebar dan dalam. Lahan pertanian rakyat hancur permanen. Mereka tetap miskin. Makin sengsara. Tiap hari menghirup debu mangan. Demikian tulis Pater Alex Jebadu SVD dalam artikelnya ”Jeritan Masyarakat Lingkar Tambang Torong Besi dan Serise di Manggarai, Flores, NTT” (adatlist@yahoogroups.com).
Kalau mereka miskin, apakah daerahnya kaya? Dengan perusakan lingkungan secara massif dan permanen, apakah tambang signifikan menyumbangkan PAD? Pelatihan monitoring APBD oleh Almadi di Pagal, Manggarai, 2009, menemukan kenyataan: pertambangan ini tidak terakomodasi dalam PAD. Ini yang oleh orang Flores disebut “rugi dobel”. Lingkungan hancur, rakyat miskin, daerah tidak dapat apa-apa.
Yang dikorbankan tidak sebanding dengan yang diperoleh. Orang Manggarai menyebutnya “dagang bodok”. Ilustrasinya yang terkenal: beli satu sisir pisang Rp5.000, jual lagi Rp4.000, maka untungnya Rp1.000. Ilustrasi lain: si “bodok” ke pasar hendak jual pisang. Di tengah jalan ia lapar. Pisang ia makan. Ia lanjutkan perjalanan ke pasar, lalu balik ke rumah. Ia merasa sudah berdagang.
Dengan varian lain, tambang mangan di Serise itu “dagang bodok” juga. Bagi investor, tambang itu menguntungkan. Bagi daerah dan rakyat, membuntungkan. Buntung tapi koq---dasar “dagang bodok”---dibiarkan terus.
Dalam “dagang bodok” ini, demo masyarakat adat Serise dan sikap mereka tolak tambang merupakan pencerahan budi. Orang kecil yang sering dianggap bodoh ini ternyata lebih bijaksana daripada bupati, wabup, dan agggota dewan. Tambang mangan di Matim sudah sangat merusak, tapi pemkab dan DPRD-nya tenang-tenang saja.
Kita patut bertanya: ada apa koq tenang-tenang saja? Karena rakyatnya untung? Jelas tidak. Karena daerahnya untung? Juga tidak. Mereka tenang-tenang saja karena mungkin justru merekalah yang untung. Daerahnya dibeli murah, dikeruk mudah, oleh tamu mampir ngombe (meka liba salang). Kasihan. Matim tetap berkanjang dalam “dagang bodok”.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar