Mengkritisi Pernyataan Bupati Matim
Oleh Frans Anggal
Hampir sepekan warga Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Matim, duduki dan pagari lokasi tambang mangan di tanah adat Rengge Komba milik mereka. Ini mereka tempuh setelah berkali-kali mereka mengadu ke pemkab dan polres (Flores Pos Sabtu 7 November 2010).
Menurut Pater Simon Suban SVD dari JPIC SVD Ruteng, sudah 7 kali warga adukan PT Arumbai masuk lokasi tanpa persetujuan mereka. Berkali-kali mereka protes langsung ke PT Arumbai. Pada 23 November 2010 mereka laporkan ke polres penyerobotan oleh PT Arumbai dan Istindo Mitra Perdana.
Tidak ada tanggapan. Maka, mereka duduki dan pagari lokasi. Saat sudah begini baru muncul ke lokasi: kapolres, kadistamben, kasat pol PP, kaban kesbanglinmas. Mereka ajak warga ke Borong, ibu kota Matim, untuk cari solusi. Warga menolak. Warga tetap di tempat, tidur di lokasi.
Warga, 300-an orang, pernah ke Borong, Selasa 9 November 2010. Mereka memprotes eksploitasi mangan di tanah mereka. Saat itu DPRD janjikan wacana pembentukan pansus. Bupati janjikan pertemuan dengan pihak terkait. Janji belum terlaksana. Sementara, lahan warga tetap dieksploitasi. Artinya, perusahaan tetap diuntungkan, sedangkan warga tetap dibuntungkan. Ini tidak adil. Menunda pelaksanaan janji sama dengan menunda pemenuhan keadilan. Menunda pemenuhan keadilan sama dengan melanggengkan ketidakadilan.
Dalam konteks ketidakadilan itulah tindakan warga duduki dan pagari lokasi dapat dibenarkan secara moral, meski---dan itu pasti---dipersoalkan secara legal oleh perusahaan. Boleh dibilang, ini konflik yang legal vs yang moral. Dalam banyak kasus, yang legal kalahkan yang moral. Per-UU-an kalahkan keadilan. Huruf hukum kalahkan roh hukum.
Ini tidak boleh terjadi. Roh hukum harus diembuskan sebelum huruf hukum dituturkan. Keadilan harus ditegakkan sebelum per-UU-an diperbincangkan. Yang moral harus dimenangkan sebelum yang legal ditetapkan.
Maka, sambil menunggu penyelesaian sengketa, penambangan harus dihentikan. Meneruskan penambangan sama artinya dengan melanggengkan ketidakadilan. Tujuan warga duduki dan pagari lokasi justru itu. Untuk hentikan penambangan, hentikan pelanggengan ketidakadilan. Ini prasyarat penyelesaian masalah. Karena itu, pemkab dan polres jangan hanya desak warga tinggalkan lokasi. Desaklah juga perusahaan hentikan penambangan.
Dengan latar ini, pernyataan Bupati Yoseph Tote perlu dikritisi. Dia bilang, masalah pokok di Serise bukan masalah tambang tapi masalah tanah. Menanggapi pernyataan ini, “Senggol” Flores Pos Jumat 26 November 2010 nyeletuk, “O ya? Selama ini menambang di langit.”
Tanah dan tambang dalam kasus ini ibarat dua diagram yang bagiannya saling mencakup. Tambang itu di tanah (bukan di langit!), dan tanah itu ditambang (bukan dikebuni!). Bagaimana mungkin kasus ini hanya masalah tanah dan bukan masalah tambang? Selain tidak logis dan tidak realistis, dikotomi itu berkonsekuensi langgengkan ketidakadilan. Logikanya begini: karena ini bukan masalah tambangnya maka penambangan jalan terus, sedangkan warga harus tinggalkan lokasi untuk selesaikan masalah tanahnya.
Konskuensi seperti itu asimetris. Tidak adil. Perusahaan tetap untung, warga tetap buntung. Masalah Serise, ya masalah tanah, ya masalah tambang! Maka, sebelum diselesaikan, hentikan semua aktivitas di lokasi, baik penambangan maupun pendudukan dan pemagaran. Itu baru simetris. Itu baru adil. Keadilan hanya bisa ditegakkan dengan cara yang adil.
“Bentara” FLORES POS, Senin 29 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar