Judi Kupon Putih di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Aparat Polres Sikka menangkap 1 bandar dan 13 pengepul atau pengedar kupon putih (KP) pada dua tempat berbeda di Maumere, Kamis 18 November 2010. Turut disita sebagai barang bukti, uang Rp1.827.000, hand phone 6 buah, kalkulator 2 buah, tas pinggang, balpoin, dan beberapa dokumen (Flores Pos Jumat 19 November 2010).
Setelah dilakukan identifikasi dan konfrontasi, polisi akhirnya menetapkan 7 menjadi tersangka. Mereka langsung ditahan di sel pada Jumat 19 November. Ke-7 orang ini tediri dari 1 bandar dan 6 pengepul. Sedangkan 7 lainnya tak ditahan, mereka hanya bersatus saksi (Flores Pos Sabtu 20 November 2010).
Kendati berita ini menempati halaman depan Flores Pos, apresiasi publik terhadap kerja polisi terkesan biasa-biasa saja. Padahal, penangkapan penjudi ini peristiwa langka di Flores. Rupanya publik sudah bosan dengan kelambanan polisi. Maka, masuk akal gumaman Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Sabtu 20 November 2010. “Biasa, didesak dulu baru tangkap.”
Judi sudah lama ada dan marak. Koq baru sekarang pelaku ditangkap? Di mana dan buat apa saja polisi selama ini? Apakah ini upaya memulihkan citra? Semacam tindakan reaktif pemadam kebakaran jenggot karena Polri barusan dipermalukan Gayus Halomoan Tambunan setelah sebelumnya terconteng warta rekening gendut para perwira?
Gayus, si tahanan kejahatan pajak, ketahuan ternyata bebas keluar-masuk Rutan Bareskrim Cabang Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Ia tertangkap kamera wartawan Kompas saat sedang nonton pertandingan tenis internasional di Bali. Ia menyamar, berambut palsu berkacamata. Mulanya ia membantah. Tapi kemudian ia mengaku.
Terlansirlah kabar, untuk bebas keluar-masuk rutan, Gayus menyuap 9 oknum polisi penjaga hingga mencapai total Rp368 juta. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, ada informasi bahwa Gayus melakukan transaksi keuangan senilai Rp50 juta per bulan (www.analisadaily.com).
Dengan uang, Gayus bisa beli apa saja. Termasuk, ‘beli’ polisi. Ini fenomena umum di Indonesia. Mucullah istilah ‘budaya suap’. Sebagai bagian dari Indonesia, Sikka bukanlah kekecualian. Maka, fenomena umum ini memberi konteks pada kritik anggota DPRD Sikka Siflan Angi. Ia menilai Polres Sikka tebang pilih. Cuma tangkap penjudi kelas teri. Kelas kakapnya tidak.
“Bandar KP yang ditangkap, apa benar selama ini di Sikka cuma mereka?” tanya Angi. “Semua orang tahu, siapa-siapa bandar KP yang diduga dilindungi oleh oknum penegak hukum. Kenapa ada bandar-bandar KP yang diduga dilindungi oleh penegak hukum? Ini ada apa?” (Flores Pos Sabtu 20 November 2010).
Ada apa? Kongkalikong? Tahu sama tahu? Uang tebusan? Dana sogokan? Setoran mingguan? Tak perlu dijawab. Rahasia umum. Modusnya kurang lebih sama dengan praktik tebang pilih penegakan hukum Polres Mabar. Polres satu ini berani. Tapi, beraninya cuma sama orang kecil, orang kampung, petani miskin, yang tebang pohon di hutan lindung. Kalau sama bupati, sama investor, yang demi tambang emas merambah hutan lindung (kasus Tebedo) dan melanggar perda (kasus Batu Gosok), mana berani dia.
Kita prihatin, polisi tidak jera citrakan dirinya buruk. Citra umum: maju tak gentar membela yang bayar, mundur gemetar menjauhi yang benar. Citra khusus, dalam perjudian: kakap membayar tak pakai tawar, tergagap polisi langsung menggelepar. Huh!
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar