Penghentian Tambang Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng, Plt Sekab Mabar Anggalus Abut, Kasat Pol PP Mabar Roby Ngolong, Wakil Ketua DPRD Mabar Jerahun Bernadus, sejumlah anggota DPRD Mabar, Ketua Geram Flores-Lembata Florianus Suryon, dan berbagai elemen masyarakat, gagal masuk kawasan puncak Batu Gosok, Kamis 18 November 2010. Mereka dihadang pekerja tambang emas PT Grand Nusantara Mining (Flores Pos Jumat 19 November 2010).
Para pekerja melubangi jalan dan menggundukkan tanah. Setelah bersitegang, mereka hanya izinkan pihak pemerintah dan uskup ke kawasan puncak. Rombongan menolak dan memutuskan pulang. Sebelum balik, rombongan menanam pohon perdamaian, beringin, yang sedianya ditanam di puncak di lokasi eksplorasi. Penanaman didahuli upacara sabda, dipimpin uskup.
Dalam penjelasannya, para pekerja memblokir jalan agar orang tidak bebas keluar masuk. Meski tak ada kegiatan eksplorasi lagi karena pemkab sudah keluarkan larangan, aset perusahaan masih ada di lokasi. “Kami hanya jaga alat sekarang,” kata Lasa, pekerja lokal. “Kalau masuk lokasi tambang, harus ada surat dari pihak tambang dan didampingi pihak dinas pertambangan,” kata pekerja lain.
Apa yang mereka tekankan? Prosedur! Rombongan itu sangat lengkap. Ada pucuk pemerintah: plt sekab mewakili bupati. Ada pemimpin tertinggi gereja setempat: uskup. Ada elemen civil society: Geram dll. Semua petinggi ini seakan tak ada apa-apanya di mata kuasa pertambangan. Mereka datang tanpa izin perusahaan, tidak prosedural, maka ditolak.
Batu Gosok “dimilik” Mabar, tapi “dikuasai” PT Grand Nusantara Mining (GNM). Kuasa ini ada di tangan GNM karena diberikan oleh bupati, sang “pemilik” Mabar, melalui izin eksplorasi. Dengan izin itu, GNM menjadi “penguasa”. Selaku “penguasa”, GNM merasa berhak menghadang siapa saja, termasuk “pemilik”. Itulah insiden Batu Gosok.
Pertanyaan kita: benarkah Batu Gosok dikuasai GNM? Dulu, ya. Sekarang, tidak. Jangka waktu izin ekslorasinya sudah berakhir. Maka, hak penguasaannya berakhir pula. Haknya itu pun bermasalah karena diperoleh melalui izin eksplorasi yang melanggar hukum. Pemberian izin oleh Bupati Wilfridus Fidelis Pranda menyalahi perda tata ruang. Perda 30/2005 Pasal 23 menetapkan Batu Gosok sebagai lokasi wisata komersial.
Pelanggaran ini sudah dilaporkan ke Polres Mabar oleh Geram. Selain lamban, polres tidak bikin apa-apa. Dengan berakhirnya izin itu dan bermasalahnya ekskplorasi karena melanggar hukum, semestinya Batu Gosok di-status-quo-kan. Pertama, kegiatannya harus dihentikan. Kedua, lokasinya harus dikosongkan: peralatan kerja harus dikeluarkan. Ini tidak dilakukan polres.
Karena polres tidak lakukan apa-apa, peralatan kerja GNM tetap parkir di sana. Dengan dalih menjaga alat-alat inilah para pekerja melarang orang keluar masuk. Termasuk, melarang pihak pemerintah sang “pemilik”. Padahal, GNM sudah tidak punya hak apa-apa lagi di sana. Sungguh ini tidak lucu.
Akan semakin tidak lucu kalau ini dibiarkan. Polres Mabar tidak bisa diandalkan. Kalau sekarang eksplorasi Batu Gosok terhenti, itu bukan karena tindakan hukum oleh polres. Itu hanya karena tindakan politik oleh Bupati Agus Ch Dula dan Wabup Maxi Gasa (GUSTI). Mabar sepertinya tidak punya polisi.
Karena polres sulit dipercaya, kita mendesak agar GUSTI lebih tegas. Insiden Batu Gosok mengingatkan satu hal. Tidak cukup hanya melarang aktivitas pertambangan. Perlu dan mendesak juga, segera kosongkan lokasi!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar