Dari Manggarai untuk Korban Bencana
Oleh Frans Anggal
Pemkab Manggarai menyerukan PNS memberi sumbangan bagi korban bencana banjir di Wasior, tsunami di Mentawai, dan letusan Merapi di Jawa. Posnya di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Ruteng. “Imbauan sudah diketahui semua PNS. Dalam imbauan itu, bantuan minimal Rp5 ribu (per orang),” kata Kepala BPBD Angglus Angkat (Flores Pos Rabu 10 November 2010).
PNS kumpulkan sumbangan di kantor masing-masing. Setelah terhimpun, dana itu diantar ke posko. Dengan jumlah PNS 7.000-an orang, dana yang bakal terkumpul minimal Rp35 juta. Ditambah dengan dana terhimpun dari masyarakat oleh beberapa elemen civil society, jumlahnya bakal tidak kecil.
Ini solidaritas sosial. Menurut sosiolog Emile Durkheim (1858-1917), solidaritas sosial merupakan keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasari perasaan moral dan kepercayaan bersama dan diperkuat pengalaman emosional bersama.
Agar solidaritas sosial tidak menyempit atau memicik, “perasaan moral” pada konsep Durkheim perlu digarisbawahi dan benar-benar diberi bobot etik. Dengan demikian, solidaritas sosial mesti dipandang sebagai perwujudan etika sosial. Yang menjadi pertanyaan: etikal sosial macam apa yang mesti memboboti solidaritas sosial itu.
Tidak rumit-rumit. Bayangkan saja kesejatian sebuah persahabatan. Cara wawas Milan Kundera, novelis Prancis kelahiran Ceko, bisa membantu. Di matanya, persahabatan merupakan relasi non-sektarian. Sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, dan ideologi. Persahabatan adalah etika yang berlandaskan pengakuan satu sama lain sebagai subjek moral yang setara. Itulah etika solidaritas!
Ditarik ke ranah publik hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, etika solidaritas sudah seharusnya berfisat publik. Privatisasi terhadapnya dapat hancurkan kehidupan bersama. Fundamentalis agama yang memprivatkan solidaritas sosial hanya pada kelompoknya bisa benar-benar mengorbankan diri bagi kelompoknya, tapi sekaligus menghancurkan kehidupan bersama dengan kelompk lain, melalui aksi bom bunuh diri.
Etika solidaritas seperti itu harus kita padamkan. Kita nyalakan etika sosial berdimensi publik. Apa yang dilakukan Pemkab Manggarai memperlihatkan dimensi itu. Para PNS menyumbang bagi sesama warga negara, bisa lebih luas lagi bagi sesama umat manusia, yang sedang menderita, siapa pun, di mana pun, dan apa pun suku, agama, dan ras mereka.
Nilai etis solidaritas publik semakin tinggi kalau kadar pemaksaan terhadapnya semakin rendah. Pada titik ini, kita perlu mengkritisi langkah Pemkab Manggarai. Mengimbau PNS menyumbang, itu bagus. Dengannya, mereka diajak bersolidaritas secara sukarela. Menjadi kurang bagus, pemkab mematok jumlah minimal sumbangan per orang .
Ini tidak lucu. Pemkab mengajak sekaligus mewajibkan. Mengimbau sekaligus memaksakan. Membebaskan sekaligus membatasi. Kenapa mesti dipatok minimal Rp5 ribu per orang? Kalau uang itu berasal dari dana rutin tiap SKPD, boleh-boleh saja, bupati punya hak. Tapi kalau itu dari gaji si PNS, apa hak seorang bupati?
Selain melampaui apa yang menjadi hak bupati, pematokan jumlah minimal itu melunturkan, mengurangi, mendinginkan, bahkan mematikan nilai kesukarelaan. Maka, jadilan ia “sumbangan sukarela dengan tekanan”. Tidak lucu.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar