Pengedaran dan Penggunaan Narkoba di NTT
Oleh Frans Anggal
Inilah data narkoba di NTT hingga November 2010. Yang libatkan mahasiswa pasca-sarjana 2 kasus, mahasiswa calon sarjana 9 kasus, siswa SMA 132 kasus, siswa SMP 72 kasus, murid SD 5 kasus. Jenis narkoba yang dikonsumsi: ganja 72 kasus, ekstasi 43 kasus, shabu-shabu 30 kasus (Flores Pos Senin 22 November 2010).
Ini menunjukkan, pengedaran dan penggunaan narkoba sudah merebak di kalangan pelajar, kata Kabid Pencegahan Badan Narkotika NTT Erni Usboko. Sangat mengkhawatirkan. “Kami terus gencarkan sosialisasi tentang bahaya narkoba di kalangan pelajar dan guru di sekolah-sekolah,” katanya. Juga di kalangan pemuda dan pemudi, melalui kerja sama dengan Dharma Wanita.
Data di atas secara kasat mata menunjukkan, jumlah terbesar kasus justru melibatkan pelajar SMP dan SMA. Karena itu---mudah-mudahan setelah dikomparasi dengan data lain---simpulan Erni Usboko benar: pengedaran dan penggunaan narkoba sudah merebak di kalangan pelajar. Ia gunakan kategori “pelajar”. Ini menarik untuk disimak.
Apakah karena status pelajarnya anak SMP dan SMA itu mudah terlibat? Kajian psikologi menyatakan tidak. Yang memudahkan mereka terjerumus bukan ke-pelajar-annya, tapi ke-remaja-annya.
Di mana-mana remaja itu sama. Mereka rentan secara psikologis. Mereka mudah dipengaruhi. Kalau demikian persoalannya, bukankah itu berarti pula mereka mudah dituntutn ke jalan yang benar oleh orangtua dan guru? Ya! Namun, ini soalnya: persis pada usia yang rentan secara psikologis itu mereka justru lebih dekat pada kelompok sebayanya (peer group).
Dalam kelompok sebayanya, mereka saling percaya. Bahkan mereka bisa lebih percaya teman kelompoknya ketimbang percaya orangtua dan guru. Mereka juga saling terbuka, bahkan bisa lebih terang-terangan, ketimbang bercurhat jujur kepada orangtua dan guru. Mereka pun saling membimbing. Jadi co-counselor.
Dalam keadaan seperti ini, bayangkan kalau sebuah pengaruh buruk masuk. Bayangkan kalau narkoba diperkenalkan, seakan-akan sebagai trennya remaja. Mereka suka ikut tren. Yang trandy itu yang gaul, katanya. Yang tidak gaul, yang tidak trendy, layak disingkirkan. Khawatir tidak diterima dalam kelompoknya, si remaja mau tidak mau menyesuaikan diri. Di sini bencana itu muncul.
Produsen dan pengedar narkoba tahu itu. Mereka menyusup ke kelompok ini, selain karena pertimbangan psikologis bahwa remaja mudah dipengaruhi dan suka saling mempengaruhi, juga karena pertimbangan ekonomis. Remaja merupakan pasar potensial narkoba. Sekali remaja ketagihan, bisnis ini terjamin langgeng. Kecil terbiasa, besar terbawa-bawa, kata pepatah.
Bagaimana mencegahnya? Sosialisasi oleh Badan Narkotika NTT itu bagus. Tapi tidak cukup jika tidak didukung orangtua dan guru. Mempertimbangkan karakteristik remaja, orangtua dan guru harus menjadi sahabat remaja. Menjadi seakan-akan teman kelompok sebayanya. Menjadi tempat curhat dll. Dalam posisi seperti ini, orangtua dan guru lebih mudah mempengaruhi si remaja, menuntunnya ke jalan yang benar.
Langkah edukasional ini tetap tidak cukup. Perlu langkah hukum. Sindikat narkoba harus diberantas. Produden dan pengedar harus ditangkap. Ini tugas negara, polisi. Hanya polisi yang tidak mudah disogok bisa jalani misi ini. Justru pada titik ini, kita sering kecewa. Yang rawan ternyata bukan hanya remaja. Polisi juga. Remaja rawan secara psikolgis. Polisi rawan secara etis.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar