19 November 2010

Dari Sidang Klasis Flores

Apa Sikap dan Tindakan dalam Kontroversi Tambang?

Oleh Frans Anggal

Sidang Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende, yang berlangsung tiga hari, dibuka dengan kabaktian, Rabu 17 November 2010, dipimpin Pdt Damaris Tubatonu Hitu. Dalam khotbahnya, Pdt Damaris mengangkat isu pemanasan global dan perubahan iklim (Flores Pos Kamis 18 November 2010).

Ia mengingatkan, saat ini planet Bumi mengalami perubahan serius lewat pemanasan global, yang ditandai peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem. Dampaknya, antara lain, bencana alam yang makin sering terjadi. Fenomena ini menuntut manusia membuka mata hati tehadap kelanjutan hidup segala makhluk alam semesta yang terancam punah.

Berbagai bencana alam itu terjadi bukan karena dunia segera kiamat. Tapi karena manusia merusak alam ciptaan. “Karena itu,” kata Pdt Damaris, “sudah seharusnya Gereja menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi. Gereja diutus ke dunia untuk menyelamatkan alam ciptaan Tuhan dari kerusakan.”

Pesan ini memperlihatkan dan mengingtakan dua hal. Pertama, Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende tetap visioner. Tetap setia pada salah satu visi pelayanan GMIT. Yakni, memperlihatkan tanda-tanda Kerajaan Allah dengan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, pembebasan, persamaan derajat dan hak, serta pelestarian alam ciptaan Allah.

Kedua, Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende tanggap terhadap persoalan nyata dunia sekitarnya. Bukankah Indonesia barusan dirundung bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi? Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende turut berduka bersama Indonesia yang menangis. Duka itu mendesakkan panggilan, tidak hanya untuk beraksi tapi juga untuk berkontemplasi.

Mutiara kontemplasi itulah yang berbinar dari khotbah Pendeta Damaris. Bahwa, jika dirunut lebih jauh, berbagai “bencana alam” sesungguhnya merupakan “bencana ekologis”. Bencana akibat ulah manusia merusak keutuhan alam ciptaan. Bencana ini hanya akan berkurang kalau manusia bertobat.

Pengertian “bertobat” menurut Alkitab adalah perubahan pikiran yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Kisah pertobatan Santo Paulus memperlihatkan, perubahan tingkah laku itu menyata dalam kehidupan bersama. Setelah pertobatannya, rasul agung ini bergabung dengan sebuah jemaat Kristen di Damaskus, melalui babtisan.

Inilah model pertobatan yang benar. Pertobatan melahirkan persekutuan persaudaraan. Pertobatan menuntut solidaritas. Ini jugalah yang menjadi harapan kita dari pesan bernas khotbah Pendeta Damaris. Bahwa, kalau dikatakan Gereja harus menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi, maka pertama-tama Gereja harus bertobat.

Kenapa? Dalam konteks Flores, di tengah pro-kontra tambang sang monster ekologi itu, Gereja belum optimal dan maksimal menjadi tanda dan sarana bagi Kerajaan Allah. Gereja belum benar-benar solider dengan masyarakat lingkar tambang yang hidupnya sudah, sedang, dan akan terancam oleh perusakan ekologi. Karena itu, kalau dikatakan bahwa Gereja harus menaruh perhatian serius terhadap masalah ekologi, maka Gereja harus solider dengan para (calon) korban ini.

Dengan ini, kita menitip sebuah pertanyaan untuk Sidang Klasis Flores Jemaat Syaloom Ende. Apa sikap dan tindakan konkret sidang ini dalam kontroversi pertambang di Flores?

“Bentara” FLORES POS, Jumat 19 November 2010

Tidak ada komentar: