"Pejabatisasi" di Kabupaten Lembata
Oleh Frans Anggal
Senin 8 November 2010, sekolah se-Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, diliburkan. Hari itu, Kadis Pemuda dan Olahraga (PPO) Alex Making lakukan kunjungan kerja (kunker) ke ibu kota kecamatan, Lewoleba, yang juga ibu kota kabupaten. Ia diterima secara adat, lalu diantar ke gedung Dekenat Lembata. Di sana ia bertemu dengan semua guru sekecamatan. Karena semua guru kumpul di sana, sekolah diliburkan (Flores Pos Selasa 9 November 2010).
Kadis datang, tentu untuk benahi pendidikan, khususnya tingkatkan mutu sekolah, lebih khusus lagi dongkrak persentase kelulusan UN. Kiatnya: efektivitas proses belajar-mengajar. Antara lain melalui interaksi guru-murid sesering dan seintensif mungkin. Pada saat kunker kadis, interkasi guru-murid itu justru dibatalkan. Kunker yang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan justru mengurangi bahkan menghilangkan peluang meningkatkan mutu pendidikan.
Baik kadis maupun para kasi tidak melihat kejanggalan ini. Karena, mereka cuma pejabat, bukan pendidik. Mereka tidak miliki kepekaan edukasional. Ini jadi langgeng, antara lain karena dilanggengkan masyarakat yang masih menyembah feodalisme. Tidak heran, lahirlah “pejabatisasi”. Pejabat selalu jadi tokoh sentral. Dalam urusan pertanian, dia lebih penting ketimbang petani. Dalam urusan pendidikan, dia lebih penting ketimbang guru.
Karena sang pejabat lebih penting maka yang lain boleh dikorbankan. Jalan boleh diblokir demi lewat mulusnya pejabat. Kendaraan foreder boleh meraung-raung demi terwartanya sang raja tiba. Anak-anak sekolah boleh terpanggang di bawah matahari demi terpagar betisnya lintasan sang dewa.
Dengan varian yang lain, pejabatasi terjadi pula pada kunker kadis PP Lembata. Ia diterima secara adat. Ini wajar dan dapat dimengerti. Itu kali pertama ia berkunker setelah dilantik. Dalam budaya kita, semua yang (kali) pertama diperlakukan istimewa. Kepertamaan paralel dengan kesulungan. Mendapat privilese secara kultural.
Kunker itu jadi tidak wajar ketika sekolah harus diliburkan. Pertemuan guru-murid dikalahkan oleh dan dikorbankan demi petemuan kadis-guru. Apakah karena pertemuan kadis-guru lebih bernilai? Tidak. Ada kesaksian, selain tidak berikan nilai tambah, pertemuan itu membosankan.
“Hanya mau ketemu kadis, anak-anak diliburkan. Padahal, ujung-ujung dari pertemuan ini adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan di Lembata. Nilai apa yang kami dapat dari pertemuan ini?” guguatn Yohanes Paulus P. Koban, guru SMU PGRI.
Selain tidak berikan nilai tambah, pertemuan ini hanya me-murid-kan guru. Menggantikan murid yang diliburkan, para guru bersekolah di gedung Dekenat Lembata, mendengarkan pengajaran kadis dan kasi. Hingga pukul 13.00, mereka hanya mendengarkan program kerja dan kegiatan dinas. Keluh kesah dan saran mereka kurang mendapat tempat.
Tidak hanya itu. Kunker ini mengorbankan kocek para guru. Tiap guru harus bayar Rp40 ribu. Untuk makan-minum Rp30 ribu, untuk kegiatan PGRI Rp10 ribu. Adoh, sudah tidak dapat nilai tambah, mereka kehilangan duit. Tragedi Umar Bakrie selalu berulang. Guru selalu jadi ayam sayur pejabat. Dipotong di sana, dikebiri di sini.
Kita belum bebas dari kungkungan feodalisme. Belum lepas dari kegilaan pejabatisasi. Yang menyedihkan, hal seperti ini justru masih kuat menggerogoti dinas dan lembaga pendidikan yang justru mengemban misi transformasi. Duh!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar