Hormati Adat dan Berdayakan Masyarakat Adat
Oleh Frans Anggal
Akibat hubungan arus pendek, tiga rumah adat hangus terbakar di Kampung Nage, Desa Dariwali, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Kamis 18 November 2010. Ketiga rumah adat itu adalah Sao Sese Wali, Sao Pojo Molo, dan Sao Mue Zia. Turut terbakar, “ngadhu-bhaga” milik Suku Metu.
Ritus adat pemulihan dan tolak bala telah dilakukan pada Sabtu 20 November. Acara ini ditandai dengan “noza kaba”, penyembelihan kerbau korban. Acara dihadiri Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa. Tidak hanya hadir, bupati-wabup juga memberikan bantuan (Flores Pos Selasa 23 November 2010).
Bagi masyarakat adat, terbakarnya rumah adat dan simbol-simbol persekutuan bukanlah masalah kecil. Hangusnya semua perbendaharaan itu tidak hanya berarti hilangnya aset bersama, tapi juga dan malah terutama berarti terancamnya hidup persekutuan. Keterhilangan itu tidak hanya ancaman ekonomis, tapi juga dan terutama ancaman eksistensial.
Simaklah pernyataan Ketua Suku Metu, Andreas Molo, memaknai ikut terbakarnya “ngadhu-bhaga” mereka. “Kejadian seperti ini adalah isyarat bahwa ‘woe’ (suku) kami mau punah, karena ‘ngadhu-bhaga’ juga habis dimakan api. Akan tetapi, kami bertekad untuk berjuang membangun kembali, dan kami mohon bantuan dan uluran tangan pemerintah.”
“Ngadhu” dan “bhaga” merupakan monumen di tengah kampung, simbol eksitensi “woe” atau suku. Orang Ngada mengenal ungkapan, ”Ngadhu nee Bhaga tau rada go kisanata”. Dari jumlah “ngadhu” dan “bhaga”, dapat diketahui berapa jumlah suku dalam sebuah kampung. “Ngadhu” berupa tiang beratap, simbol laki-laki (lingga). Sedangkan “bhaga” berupa miniatur rumah berpintu terbuka, simbol perempuan (yoni).
Karena menyimbolkan sekaligus menandakan eksistensi suku maka hilangnya “ngadhu-bhaga” dianggap dan dirasakan seolah-olah sebagai hilangnya suku. Peristiwa yang menyebabkan hilangnya “ngadhu-bhaga”---dalam kasus di atas berupa hubungan arus pendek yang menimbulkan kebakaran---dipandang sebagai peristiwa chaostic, yang tidak hanya merusak harmoni tapi juga mengancam ekstensi suku.
Chaos tidak boleh dibiarkan berlangsung lama, baik berupa peristiwanya maupun akibat yang ditimbulkannya. Karena itu, tidak mengherankan, hanya berselang satu hari setelah kebakaran (18 November), masyarakat adat Kampung Nage langsung mengadakan ritus pemulihan dan tolak bala (20 November). Dari dasar dan tujuannya, ritus ini sesungguhnya ritus re-harmonisasi dan re-eksitensi suku. Ini ritus ‘kelas berat’. Maka, hewan korban yang pantas adalah kerbau.
Betapa suatu kehormatan, kebanggaan, penghiburan, dan peneguhan bagi warga suku dan warga kampung ketika Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa menyempatkan diri hadir dalam ritus ini. Selain berbagai bentuk bantuan yang telah diberikan Pemkab Ngada, kehadiran pemimpin tertinggi kabupaten ini memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat adat yang dirundung duka eksistensial.
Kita berharap, kepedulian yang diperlihatkan bupati-wabup yang dikenal sebagai paket Mulus ini menjadi tanda positif untuk kiprah pembangunan Ngada ke depan. Hormati adat. Berdayakan masyarakat adat. Jangan biarkan Ngada tergadai mudah dan murah. Belajarlah dari kontroversi eksplorasi pertambangan biji besi di Riung, yang merupakan catatan buruk di senjakala bupati terdahulu.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar