29 Maret 2009

Pejabat Tak Boleh Ditahan? (Kasus Sekda Ende Iskandar Mberu)

Oleh Frans Anggal

Sekda Ende Iskandar Mohamad Mberu ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus pengancaman dan perbuatan tidak menyenangkan terhadap anggota DPRD Heribertus Gani. Sedianya, ia langsung ditahan setelah diperiksa penyidik pada Senin 9 Februari 2009. Namun, atas perintah Kapolres Bambang Sugiarto, penahanan dibatalkan. Seperti diberitakan Flores Pos, per telepon dari Jakarta kapolres memberi alasan: tersangka pejabat publik. Jika ia ditahan, pekerjaan yang ditangani bisa terbengkalai.

Apakah ini satu-satunya alasan? Boleh jadi tidak. Mungkin karena dihubungi per telepon, kapolres tak sempat bicara lengkap dan jelas. Seandainya alasannya hanya itu, keadilan hukum sungguh dicederai.

Alasan seseorang tidak ditahan hanya karena ia pejabat publik sungguh diskriminatif. Ini perlakuan ‘tebang pilih’. Pejabat tidak boleh ditahan. Penahanan hanya berlaku bagi orang kebanyakan. Perlakukan seperti ini mencederai rasa keadilan. Asas ‘persamaan di depan hukum’ (equality before the law) dikangkangi.

Mudah-mudahan alasan kapolres membatalkan penahanan tersangka tidak hanya itu. Mudah-mudahan ia punya alasan normatif seperti yang tertuang dalam KUHAP. Meski, lazimnya, yang normatif itu tidak seratus persen menjamin keadilan hukum.

KUHAP mempersyaratkan dua hal untuk penahanan: syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif: penahanan bisa dilakukan dengan pertimbangan apabila dikhawatirkan tersangka/terdakwa melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana. Jika tidak dapat menemukan tiga indikasi tersebut, penyidik tidak boleh melakukan penahanan. Sedangkan syarat objektif: penahanan bisa dilakukan apabila tesangka/terdakwa melakukan pelanggaran dengan ancaman penjara di atas 5 tahun, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang disyaratkan oleh UU.

Berbeda dengan syarat objektif yang jelas dan tegas, syarat subjektif cenderung memberi kewenangan mutlak pada polisi/jaksa/hakim. Kewenangan untuk “mengkhawatirkan”. Merekalah yang berwenang mengatakan bahwa tersangka/terdakwa “dikhawatirkan” melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana.

Kewenangan mutlak ini mengandung bahaya. Antara lain, overkriminalisasi. Menahan seseorang yang secara hukum semestinya “tidak dapat” dan “tidak perlu” ditahan. Bagaimanapun kejamnya satu kejahatan, janganlah tindakan penegak hukum justru lebih kejam dari kejahatan itu sendiri. Bahaya lain adalah komersialisasi, kolusi, dan nepotisme. Menahan atau tidak menahan seseorang karena kepentingan duit, kerabat, dan keluarga.

Kembali ke perintah Kapolres Bambang Sugiarto membatalkan penahanan Sekda Mberu. Kita berharap tindakannya ini memiliki dasar yuridis formal KUHAP. Tentang itu, publik berhak untuk tahu.

"Bentara" FLORES POS, Rabu 11 Februari 2009

Tidak ada komentar: