Mengkritisi Rencana Aksi "Kupang Berkabung"
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya meminta masyarakat NTT tidak menggelar "Kupang Berkabung" terkait kasus di Temanggung, Jawa Tengah. Penyampaian solidaritas bisa dengan cara lain yang lebih santun dan bermoral. "Marilah kita belajar dari pengalaman tahun 1998 lalu. Akibat acara ‘Perkabungan Nasional’, terjadi kerusuhan," katanya (Flores Pos Jumat 25 Februari 2011).
Menurut rencana, "Kupang Berkabung" digelar di Kupang selama tiga hari 25-27 Februari 2011. Kegiatan ini sangat mengkhawatirkan. Selain karena pengalaman buruk 1998, juga karena mendahului rencana aksi ini telah marak beredar rumor SARA, baik lewat SMS maupun grafiti provokatif di tembok-tembok kota.
Gara-gara rumor SARA ini, kini sudah muncul rasa saling curiga di kalangan masyarakat. Bahkan sejumlah sekolah di kota Kupang diliburkan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Singkat kata, sebagian warga Kupang kini sudah hidup dalam suasana penuh ketakutan.
Keadaan ini seperti ini sudah cukup bagi negara untuk bertindak tegas. Negara tidak melarang atau menghalangi kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat. Namun, pada kondisi ekspresi kebebasan itu berpeluang menjadi tindakn kriminal, entah karena faktor internal ataupun faktor eksternal, negara harus bisa mencegah.
Belajarlah dari kerusuhan Kupang 30 Nopember 1998. Pagi itu digelar “Perkabungan Nasional” terkait peristiwa Ketapang (22 dan 23 November 1998). Awalnya bagi-bagi bunga di jalan-jalan protokol kepada setiap orang yang lewat. Kemudian berkembang jadi pemblokiran jalan-jalan raya. Lalu menyusuplah sekelompok provokatur dari luar kota. Massa pun bertindak anarkis. Kupang rusuh (www.dephan.go.id).
Apa narasi penting dari peristiwa ini? Kerusuhan Kupang 1998 bermula dari kegiatan “Perkabungan Nasional”, yang kemudian berubah menjadi kerusuhan massal, karena ada hasutan yang mengibas-ngibaskan sentimen SARA. Negara memang turun tangan, menindak para pelaku, namun, setelah terjadi begitu banyak kehancuran. Yang menderita luka berat (2), luka ringan (25), kerusakan masjid/mushola (9), rumah tinggal (44), kios/toko (45), rumah makan (30), gedung sekolah (3), kendaraan roda empat (14), roda dua (16), dan penduduk mengungsi (3.962).
Sekarang, terkait kasus Temanggung, warga Kupang mau bikin lagi “Kupang Berkabung”? Yang benar saja! Apa jaminan dari para penyelenggara bahwa aksi mereka tidak bakal rusuh? Apa pula jaminan dari negara, dalam hal ini Polda NTT, bahwa pihaknya bisa mencekal provokasi dan segala dampak ikutannya?
Kalau jaminan dari penyelnggara tidak ada, sebaiknya mereka berkabung dengan cara lain saja. “Cara lain yang lebih santun dan bermoral,” kata Gubernur Frans Lebu Raya. Demikian pula, kalau jaminan dari negara tidak ada, sebaiknya polda proaktif dan persuasif mencegah segala bentuk perkabungan yang dapat berpeluang rusuh. Sebab, kejahatan terjadi tidak hanya karena ada niat dari pelaku, tapi juga karena ada peluang.
Pada kerusuhan 1998, “Perkabungan Nasional” diselenggarakan oleh pemuda kristiani yang tergabung dalam panitia Gema Kristi. Kita meminta, kalau benar mau berkabung, berkabunglah secara kristiani! Menangislah! Koyakkan pakaianmu! Uraikan rambutmu! Potonglah tepi janggutmu!
Seruan biblis itu perlu dipahami secara metaforis. Berkabung berarti mawas diri. Menggeledah diri. Membenah diri. Sesal dan tobat. Perkabungan kristiani selalu berarti ziarah menuju Paska, menuju Kebangkitan, menuju Kehidupan. Berkabung berarti berupaya menyemaikan, menumbuhkan, dan memelihara budaya kehidupan. Bukan budaya kematian: perusakan, pembakaran, pembunuhan ….
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 26 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar