Kasus Dugaan Korupsi PDAM Ende
Oleh Frans Anggal
Dua tersangka kasus dugaan korupsi pembelian mesin poma air PDAM Ende, Mohamad Kasim Djou dan Yasinta Asa, masih menjalani masa tahanan. Keduanya tetap dititipkan di LP Kelas II B Ende, setelah permohonan penangguhan penahanan ditolak jaksa (Flores Pos Rabu 26 Januari 2011).
Kuasa hukum tersangka mengajukan penangguhan penahanan atau pengalihan status penahanan dengan alasan kesehatan. Kasim Djou menderita asma. Yasinta Asa hamil tujuh bulan. Keterangan dokter menyebutkan, selama kehamilan kliennya membutuhkan perawatan khusus oleh dokter.
Dalam penangguhan penahanan, penahanan tetap sah dan resmi, namun pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tersangka/terdakwa dari tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan yang harus dipenuhi oleh tersangka/terdakwa atau oleh orang lain yang menjamin penangguhan itu. Masa penangguhan penahanan tidak termasuk status masa penahanan.
Penangguhan penahanan dapat terjadi apabila ada permintaan dari tersangka/terdakwa. Permintaan itu disetujui instansi penahan. Juga disetujui tersangka/terdakwa dengan mematuhi syarat dan jaminan. Syaratnya: wajib lapor, tidak keluar rumah (tahanan rumah), tidak keluar kota (tahanan kota).
Melihat alasan yang diajukan kuasa hukum kedua tersangka, kita prihatin mengapa jaksa menolak pengajuan penangguhan penahanan. Untuk tersangka atau terdakwa yang sakit dan membutuhkan perawatan khusus, status yang pantas dan patut adalah tahanan kota.
Dengan status tahanan kota, si tersangka atau terdakwa sakit tetap menjalani status penahanan secara sah dan resmi di satu sisi, dan tetap dapat menjalani perawatan secara intensif di lain sisi. Dua sisi ini terpenuhi sekaligus. Sisi hukum dan sisi kemanusiaan. Keduanya tidak saling meniadakan. Hanya dengan demikianlah hukum bisa adil. Demi keadilanlah hukum ada.
Mungkin jaksa mempertimbangkan asas persamaan di depan hukum (equalitiy before the law). Katakanlah, tidak ada pengistimewaan. Semua tahanan diperlakukan sama. Secara prinsipal, itu tepat. Namun secara aktual, ketepatan tidak harus bersifat duplikatif. Sebab, tersangka atau terdakwa itu manusia, bukan barang. Tiap manusia itu khas dengan persoalannya. Perlakuan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa sehat tidak boleh diduplikatkan pada tersangka atau terdakwa sakit.
Pada kasus di atas, diuplikasi pelakukan itulah yang dilakukan jaksa. Kita mengerti, penahanan didasari alasan objektif dan alasan subjektif. Alasan objektif merujuk pada UU yang mengamanatkan penahanan bagi tersangka yang diancam pidana penjara di atas lima tahun. Sedangkan alasan subjektif didasarkan pada kekhawatiran bahwa tersangka dapat mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti, dan melarikan diri.
Menahan kedua tersangka dengan alasan objektif itu tepat. Namun alasan objektif tidak boleh menjadi satu-satunya alasan. Masih ada alasan subjektif. Yang dasarnya pun harus kuat, tidak semata-semata karena khawatir tersangka mengulangi perbuatan, menghilangkan barang bukti, atau melarikan diri.
Kasim Djou dan Yasinta Asa itu orang sakit. Ini perlu dipertimbangkan. Jangan gampang menduplikatkan perlakuan penahanan atas nama persamaan di depan hukum. Hukum harus melek kemanusiaan. Bagi keduanya, tahanan kota sudah cukup!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 27 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar