Penyerangan terhadap Warga Ahmadiyah
Oleh Frans Anggal
Menyusul bentrokan warga dengan pengikut Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, Minggu (6-2-2011), muncullah wacana merombak SKB Tiga Menteri: Surat Kebutusan Bersama Menteri Agama, Kejaksaan Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Ahmadiyah, 9 Juni 2008, perihal “Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat”.
SKB akan dievaluasi, kata Menko Polhukam Djoko Suyanto. Dengan demikian, kekerasan seperti di Banten itu tidak terjadi lagi. “Evaluasi dilakukan secara mendasar dan mendalam,” katanya mengutip instruksi Presiden SBY (Flores Pos Selasa 8 Februari 2011).
Pertanyaan kita: dengan merombak SKB, tidak akan ada lagikah kekerasan kerhadap jemaat Ahmadiyah? Belum tentu! Persoalannya bukan sempurna atau tidaknya SKB. Tapi, hadir atau tidaknya negara menjamin kebebasan warga (civil liberties).
Ini yang semakin hilang dari republik ini. Negara lemah bahkan absen, pemimpinnya ragu-ragu menghadapi praktik-praktik vigilantisme. vigilantisme adalah paham yang membenarkan tindak kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum. Contoh tipikalnya saat ini, sepak terjang Front Pembela Islam (FPI).
Dalam sejarah AS, seperti dirujuk The Lexicon Webster Dictionary (1971), pernah hidup vigilance committee. Yakni lembaga ekstralegal, berkeanggotaan sukarela dan terorganisasi, yang menjaga aturan dan menghukum pelanggar, dalam wilayah otoritas legal tidak bekerja baik atau mengecewakan. Anggotanya disebut vigilante.
Coba tanyakan ke FPI, mengapa mereka ‘bertindak’. Jawaban mereka selalu sama: karena negara tidak ‘bertindak’. Dalam penilaian FPI, otoritas legal sudah tidak bekerja baik. Karena itu, secara sukarela dan terorganisasi, mereka ‘mengambil alih’ fungsi negara. Negara absen, lahirlah FPI. Pemimpin ragu-ragu, ‘bertindak’-lah FPI.
Kita kecam ‘tindakan’ FPI. Namun, kita akui peniliannya tepat: otoritas legal republik ini lemah. Negara sering absen ketika kehadirannya dibutuhkan warga. Peristiwa di Banten itu tidak tiba-tiba. Ada presedennya. Koq polisi tidak cegah. Negara telah absen.
Kenyataan telanjang ini tidak dievaluasi. Yang mau dievaluasi malah SKB. Mengevaluasi SKB seribu kali pun tidak akan solutif. SKB itu sendiri konyol. Pantasnya bukan dievaluasi, tapi dibuang. Kenapa? Indonesia ini republik. Filosof Rocky Gerung menjelaskannya bagus dalam Pidato Kebudayaan 2010, “Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”.
Dalam republik, status primer seseorang adalah warganegara (citizen). Ia tentu miliki status privat: agama, etnis, dll. Namun status privat tidak boleh diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara bukanlah urusan negara. Negara tidak boleh diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukanlah urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu.
Prinisp inilah yang dilanggar secara konyol oleh SKB Tiga Menteri. Maka jadilah SKB itu “surat konyol bersama”. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar