21 Februari 2011

Pulang agar Tak Terulang

Kasus 72 TKI Ilegal asal Sikka

Oleh Frans Anggal

Sebanyak 13 dari 72 TKI ilegal asal Kabupaten Sikka yang dibatalkan pemberangkatannya telah tiba di Maumere, Senin 24 Januari 2011. Ke-13 orang ini perempuan dan anak dari total 22 orang. Sembilan lainnya masih di penampungan Pemprov Jawa Timur, siap dipulangkan (Flores Pos Selasa 25 Januari 2011).

Sebelumnya, 72 TKI ilegal asal Kabupaten Sikka yang diberangkatkan sebuah PJTKI dengan tujuan Kalimantan diamankan Polsek Pakal, Kota Surabaya, 10 Januari 2011. Sebanyak 22 dari antaranya perempuan dan anak-anak. Mereka tidak miliki dokumen lengkap. Diduga, mereka korban human trafficking ‘perdagangan manusia’ (Flores Pos Senin 24 Januari 2011).

Pemkab Sikka kecolongan. Semestinya pemberangkatan para TKI bisa dicegah di Maumere, lebih awal. Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRuK-F) telah informasikan kasus ini pada 13 Januari 2011. “Saya heran, informasi saya saat itu tidak ditanggapi. Kalau ditanggapi lebih awal, kasus ini tidak seperti sekarang,” kata Koorinator Divisi Perempuan TRUK-F Suster Eustochia SSpS.

Itulah “manajemen pemadam kebakaran” Pemkab Sikka. Mencegah, tidak. Saat api berkobar, baru panik dan hiruk-pikuk. Seringkali, menajemen seperti ini dilihat sebagai sesuatu yang teknis saja. Tidak tertanggap baiknya informasi TRUK-F pun dipandang sekadar masalah teknis birokratis, yang dari sononya begitu, maka harap dimaklumi dan dimaafkan.

Ini yang tidak betul. Tidak tertanggap baiknya informasi TRUK-F, itu bukan persoalan teknis. Itu persoalan etis. Pemkab lalai menunaikan tugas dan tanggung jawab. Informasi sudah diberikan, namun tidak ditanggapi pemkab. Jelas, pemkab membiarkan pelanggaran itu terjadi. Pemkab bermasa bodoh terhadap fakta perdagangan manusia di depan matanya sendiri.

Buruh migran---di Indonesia disebut TKI dan TKW---telah, masih, dan mungkin tetap jadi “warga negara aneh”. Di negeri orang mereka di-“perbudak”. Di negeri sendiri mereka di-”dipertuan”, dengan sebutan “pahlawan devisa”. Ini hanya gelar, tanpa kehormatan. Hanya hiburan, tanpa kegembiraan. “Pahlawan devisa” sekadar opium yang melenakan bahkan membetahkan buruh migran dikuras. Sebuah masokisme sosial yang hanya menguntungkan negara, baik negara pemasok maupun negara penerima tenaga kerja.

Yang terjadi pada Pemkab Sikka adalah cerminan sikap negara. “Buruh migran merupakan profesi yang paling berisiko menghadapi penganiayaan, tapi sekaligus merupakan kelompok yang paling tidak memiliki akses kepada pelayanan dan keadilan,” kata Nisha Varia, peneliti senior hak-hak perempuan di Human Rights Watch. “Banyak negara malah memperburuk keadaaan karena mengeluarkan kebijakan yang justru memicu perlakuan diskriminasi atau bahkan mempersulit buruh migran untuk minta bantuan hukum kepada pihak yang berwenang” (Hak di Ujung Tanduk: Tinjauan Human Rights Watch terhadap Penganiayaan Buruh Migran Tahun 2010).

Peraturan perundang-undangan kita belum sungguh-sungguh menjadikan buruh migran pahlawan devisa. Ini jalan masuk bagi sindikat untuk melakukan perekrutan dan pemberangkatan ilegal. Lebih banyak yang lolos ketimbang yang dibatalkan. Salah satu faktornya: sikap pemkab yang kurang tanggap.

Karena itu, imbauan Suster Eustochia sangat tepat. Pemkab perlu lebih proaktif dan cepat tanggap. Jangan tunggu api berkobar dulu baru panik dan hiruk-pikuk. Kasus 72 TKI ilegal kiranya menjadi pelajaran berharga. Kini mereka dipulangkan. Pulang agar tidak terulang.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 26 Januari 2011

Tidak ada komentar: