Kasus Guru Pukul Murid di Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Seorang guru SD di Kabupaten Nagekeo dipolisikan karena memukul murid. Orangtua 5 dari 10 anak yang dipukul melapor ke polisi, Jumat 28 Januari 2011. Ambros Ngeta, guru SDI Butata, Desa Renduwawo, Kecamatan Aesesa Selatan itu pun ditahan di Mapolsek Aesesa (Flores Pos Senin 31 Januari 2011).
Kamis sore 27 Januari, di luar jam sekolah, anak-anak ini bermain bola kaki di lapangan. Guru Ambros Ngeta bubarkan mereka agar bisa bantu orangtua. Setelah dibubarkan, mereka datang lagi, bermain bola. Guru Ambros tidak bereaksi. Keesokannya, Jumat 28 Januari, pada jam sekolah, saat istirahat, barulah ia bertindak memukul mereka.
Menurut Dokter Isakh yang melakukan visum terhadap 5 anak, sebanyak 3 anak menderita bekas bilahan bambu pada bagian belakang dan betis, 1 anak menderita luka bibir, dan 1 anak menderita bengkak pergelangan tangan. “Yang bengkak kemungkinan butuh satu minggu untuk sembuh,” katanya.
Guru Ambros mengakui perbuatannya sebagai kekhilafan karena tidak bisa mengendalikan emosi . “Saya larang (main bola) supaya mereka pulang untuk bantu orangtua. Saya tidak ada niat untuk menganiaya mereka. Mereka semua anak-anak saya. Saya emosi dan khilaf saja.”
Bermaksud baik tapi bertindak salah. Itulah yang terjadi pada Guru Ambros. Dia hanyalah salah satu dari banyak guru yang menganggap tindak kekerasan itu wajar bahkan seharusnya demi mendisiplinkan anak didik. Pendisiplinan seperti ini sering disebut corporal punishment. Berasal dari tradisi militer. Penghukuman terhadap corpus (tubuh) dan copral (pangkat rendah dalam struktur militer) yang melakukan pelanggaran.
Seluhur apa pun tujuannya, corporal punishment tidak dapat dibenarkan dalam pendidikan. Kita sudah memiliki UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini mengadopsi beberapa isi Konvensi Hak Anak yang telah kita ratifikasi pada 25 Agustus 1990 melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
Pasal 54 UU Perlindungan Anak menegaskan: anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.
Sanksinya? Berat! Khusus tentang kekerasan fisik, ada pada pasal 80. (1) Penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta bagi yang lakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak. (2) Penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta bagi yang melakukan hingga anak menderita luka berat. (3) Penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta bagi yang melakukaan hingga anak meninggal dunia. (4) Pidana ditambah sepertiga dari semua ketentuan itu apabila yang melakukan penganiayaan adalah orangtua si anak.
Rupanya Guru Ambros dan banyak guru lain di sekolah-sekolah belum membaca UU ini. Atau belum menganggapnya penting untuk ditaati. Karena itu, hal yang mendesak dilakukan adalah diseminasi atau kampanye tentang hak-hak anak kepada para guru di sekolah-sekolah. Selain itu, dinas pendidikan setempat perlu membuat larangan khusus tentang penghukuman fisik di sekolah. Laku guru algojo harus segera dihentikan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar