Tindakan Anarkis Marak di Mana-Mana
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Sikka, Rabu 9 Februari 2011, puluhan pelajar SMKN 2 Maumere menyerang SMAN 2 Maumere. Kaca jendela gedung sekolah pecah berantakan. Proses belajar-mengajar lumpuh total sejak pukul 09.30. Polisi turun tangan, menciduk 19 siswa dari kedua sekolah untuk dimintai keterangan. Motif tawuran Emasih dalam penyelidikan (Flores Pos Jumat 11 Februari 2011).
Sehari sebelumnya, di kabupaten lain, Kabupaten Manggarai, warga saling serang di persawahan wilayah Kecamatan Satar Mese. Dalam adu fisik sengketa tanah ini, seorang warga tewas di tempat (Flores Pos Kamis 10 Februari 2011). Polisi telah mengamankan 5 warga serta menyita parang dan tombak dari tempat kejadian perkara (Flores Pos Jumat 11 Februari 2011).
Itu di Flores. Di Jawa? Di Pandeglang, Banten, Jawa Barat, Minggu (6/2), terjadi bentrokan warga dengan jemaah Ahmadiyah. Sekitar seribu orang bersenjata tajam dan batu mengepung dan menyerang rumah seorang pemimpin Ahmadiyah. Di dalamnya terdapat 18 anggota Ahmadiyah yang tengah berkumpul. Massa menuntut mereka bubarkan diri. Massa hancurkan rumah dan kendaraan. Empat orang tewas, lainnya luka-luka.
Dua hari kemudian, Selasa 8 Februari 2011, terjadi kerusuhan terjadi di Temanggung, Jawa Tengah. Tiga gereja dibakar dan properti Pengadilan Negeri Temanggung dirusak oleh sekelompok massa yang tidak puas dengan tuntutan 5 tahun penjara untuk seorang terdakwa kasus penistaan agama.
Masing-masing kasus itu dengan motifnya. Berbeda-beda. Namun ketiganya berada dalam sebuah bingkai yang sama. Bingkai republik yang penuh ketakutan (republic of fear), bukan republik yang penuh harapan (republic of hope). Kita sedang hidup dalam sebuah republik di bawah sebuah negara yang lalai dan abai. Di republik ini tidak ada jaminan apakah warganya aman berada jalan, di pasar, di rumah ibadah. Negara lalai dan abai menjamin dan menjaga kebebasan warga (civil liberties).
Tawuran pelajar di Kabupaten Sikka, meski sifatnya kasuistik dan motifnya spesifik, toh turut dikondisikan oleh atomosfer negara yang lalai dan abai itu. KOndisi ini semakin diperkuat oleh sistem pendidikan kita yang tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik.
Konsep "masyarakat" di dalam kurikulum sekolah kita tidak diajarkan sebagai "tanggung jawab merawat hidup bersama", tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep "etika publik" tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan "bermasyarakat".
Dalam pandangan filosof Rocky Gerung, inilah salah satu akar masalahnya (Pidato Kebudyaan 2010: “Memelihara Republik, Mengaktifkan Ajal Sehat”). Yakni, tidak adanya kurikulum "kewarganegaraan" dalam semua jenjang pendidikan nasional. Amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan "akhlak" ketimbang "akal".
Konsekuensinya terhadap kehidupan republik sangatlah berbahaya. Sebab, warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Misi pendidikan seperti itu sangat bertentangan dengan imperatif konstitusi yang justru mewajibkan kita "melihat dunia" melalui "kecerdasan" dan "perdamaian". Filsafat publik kita pun semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik. Menyedihkan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar