Desakan Warga di Pulau Komodo
Oleh Frans Anggal
Warga Desa Komodo di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, meminta pengelolaan Taman Nasional Komodo (TNK) ditinjau kembali. Sebab, hingga kini sistem pengelolaan TNK tidak membawa keuntungan bagi warga sebagai bagian dari TNK. Permintaan itu disampaikan di hadapan DPRD di Labuan Bajo, Senin 31 Januari 2011 (Flores Pos Rabu 2 Februari 2011).
Menurut warga Komodo, ruang hidup mereka semakin dipersempit. Mereka semakin sulit mencari makan. Wilayah tangkapan di perairan TNK dibatasi tanpa ada solusi bagi mata pencaharian alternatif bagi warga. Balai TNK (BTNK) selaku pengelola hanya melarang dan melarang. Semuanya dilakukannya sepihak, tanpa urun rembuk dengan warga.
Ini kabar buruk bagi citra TNK yang “terlanjur” positif di mata dunia luar. Selama ini, TNK bersama TN Bunaken di Sulawesi Utara dikenal sebagai “taman nasional contoh” di Indonesia. Konon, pada kedua TN ini, pengelolaannya sudah lebih efektif, dengan melibatkan masyarakat secara resmi. Manfaatnya sudah nyata bagi kepentigan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, katanya.
Dengan munculnya desakan warga Komodo agar pengelolaan TNK ditinjau kembali maka jadi mafhumlah kita: kabar TNK memang kabar indah. Namun, indahnya hanya “indah kabar dari rupa”. Indah wartanya, buruk wataknya. Seburuk banyak wajah TN lain. Dari sejarah awalnya, TN ya seperti itu, di mana-mana di dunia.
Masyarakat dalam atau sekitar kawasan konservasi dianggap hanya sebagai gangguan. Ini menjadi masalah besar ketika ketergantungan masyarakat pada sumber daya alam di kawasan itu masih sangat tinggi. Entah berupa perburuan satwa liar, pengambilan tumbuhan, atau pengambilan hasil laut. Ini yang perlu diatur dengan baik, berupa win-win solution. Sehingga, konservasinya terjamin, masyarakatnya pun sejahtera.
Banyak TN di dunia yang melaksanakan pengelolaan yang lebih melibatkan masyarakat. Salah satu caranya adalah mengurangi ketergantungan masyarakat pada SDA di kawasan konservasi, dengan menaikkan tingkat ekonominya melalu mata pencaharian alternatif. Kalau tingkat ekonominya naik, mereka akan semakin mudah berperan dalam pengelolaan TN, bukan sebaliknya.
Sudah lama Indonesia menghargai keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi. Pada 1982, Kongres Dunia Taman Nasional (World Congress on National Parks) diadakan di Bali. Pentingnya partisipasi masyarakat diakui dengan semangat pada kongres tersebut. Pada Konferensi Anggota Konvensi Keragaman Hayati Kedua yang diadakan di Jakarta pada 1995, ada keputusan melibatkan masyarakat dalam penetapan rencana kerja.
Jadi, peran masyarakat diakui secara resmi. Sayang, dalam pelaksanaannya, keputusan yang bagus itu tidak mengejawantah. Inilah yang terjadi pada TNK, merujuk pernyataan warga Komodo: hingga kini sistem pengelolaan TNK tidak membawa keuntungan bagi warga sebagai bagian dari TNK. Mereka mendesak pengelolaan TNK ditinjau kembali.
Kita mendukung desakan itu. DPRD Manggarai Barat perlu segera mengambil langkah. Ada yang tidak beres dalam pengelolaan TNK, yang membuat masyarakat semakin dipinggirkan dan dimiskinkan. Jangan tempatkan biawak komodo lebih tinggi daripada harkat dan martabat manusia!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar