Kamuflase di Balik Nomenklatur
Oleh Frans Anggal
Dalam pembahasan RAPBD Ende 2011 terungkap, dana aspirasi bagi DPRD Rp12 miliar. Dana itu sudah dibahas pimpinan dan anggota Badan Anggaran DPRD saat pra-pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Perencanaan Anggaran Sementara (PPAS) di kantor bupati beberapa waktu lalu (Flores Pos Kamis 20 Januari 2011).
Terungkapnya “dana aspirasi” ini dipersoalkan Ketua Badan Anggaran DPRD Marselinus Petu. Yang ia persoalkan adalah nomenklatur-nya. Semestinya dana itu tidak dimunculkan lagi sebagai “dana aspirasi” karena sudah dimasukkan sebagai usulan pemerintah untuk dibahas.
Sekretaris Daerah Yospeh Ansar Rera menjelaskan, pencatuman “dana aspirasi” merupakan kesalahan stafnya. Semestinya yang dicantumkan adalah program dan kegiatannya, karena dalam pembahasan KUA PPAS telah disepakati dana itu didistribusikan ke dalam dana publik di SKPD.
Nomenklatur (Inggris: nomenclature) adalah dan sesungguhnya hanyalah tata nama. Nama yang tepat untuk sesuatu yang tepat. Pertanyaan kita: tidak tepatkah istilah “dana aspirasi” untuk Rp12 miliar itu? Meskipun yang pegang duit dan kelola proyek bukan DPRD tapi SKPD, tetap saja hakikat dana itu adalah dana aspirasi DPRD, bukan?
Pencantuman dana tersebut sebagai “dana aspirasi” sesungguhnya bukanlah kesalahan staf Sekda Ansar Rera. Sang staf telah bertindak jujur. Namun, atas nama fatsun politik, sekda menyebutnya sebagai kesalahan. Padahal tidak salah. Dana itu dana aspirasi koq. Semestinya juga program dan kegiatan yang menggunakan dana itu dinamakan “program aspirasi”, “proyek aspirasi”, dll.
Jadi, tidak usah disembunyikan. Tidak usah dikamuflasekan. Tidak usah berkelit di balik nomenklatur. Apa pun namanya, Rp12 miliar itu tetaplah dana aspirasi DPRD Ende. “"What's in a name? That which we call a rose … By any other name would smell as sweet," kata tokoh Juliet dalam lakon William Shakespeare, Romeo and Juliet. Apalah arti sebuah nama? Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya tetap semerbak.
Untuk perkara dana aspirasi, mengutip Shakespeare tidak pas seluruhnya. Malah meleset, khususnya dengan metafora mawarnya. Dana aspirasi bukan mawar. Ia tidak semerbak. Entah apa metafora yang tepat, mudah-mudahan ia tidak menjadi bunga bangkai. Namun kita tetap khawatir, bau busuknya sudah mulai tercium dan nanti pasti akan menyesakkan dada.
Selain payung hukumnya tidak jelas, motif dana asprasi DPRD tidak beda dengan pork barrel budget (dana gentong daging babi) di AS dan Filipina. Istilah “pork barrel” mengacu pada praktik di era sebelum Civil War (Perang Saudara) AS. Pemerintah menghadiahi budak kulit hitam segentong daging babi untuk diperebutkan.
Dengan pork barrel budget anggota Congress untuk dapilnya, konstituen di dapil itu seakan budak belian yang berebut dana anggaran. Dana pork barrel digunakan politisi Congress untuk membayar jasa suara dan dukungan konstituen. Sekaligus untuk memuluskan perjuangan mereka agar terpilih kembali pada pemilu berikut.
Praktek seperti ini sudah dilegalkan di AS dan Filipina. Terbukti, tujuannya memang untuk kepentingan anggota Congress. Sekarang wakil rakyat kita menirunya, dengan dalih luhur: demi kepentingan rakyat. Tidak hanya berdalih, mereka juga bersembunyi, berkamuflase, berkelit di balik nomenklatur. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 22 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar