Pembunuhan Di-gelar-perkara-kan sebagai Lakatantas
Oleh Frans Anggal
Gelar kasus kematian Nurdin bin Yusuf yang dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT tidak sesuai dengan laporan yang disampaikan keluarga korban, sebagaimana tertuang dalam laporan polisi bernomor LP-B/155/VI/Ditreskrim. Laporan itu menerangkan, Nurdin mati dibunuh. Sedangkan dalam gelar kasus di kejati, kematiannya akibat kecelakaan lalu lintas (lakalantas), berdasarkan berkas ajuan Reskrim Polda NTT (Flores Pos Jumat 28 Januari 2011).
Dalam pertemuan dengan kuasa hukum keluarga Nurdin yang mempersoalkan gelar kasus itu, Wadir Reskrim Polda NTT Sugeng Kurniadji mengaku salah membuat surat. “Ironisnya, wadir melimpahkan kesalahan tersebut kepada staf yang membuat surat,” kata kuasa hukum Nyoman Rae (Flore Pos Sabtu 29 Januari 2011).
Ini kejutan yang menghina akal sehat. Bayangkan, bagian reskrim Polda NTT salah membuat surat tentang substansi sebuah kasus. Perihal dugaan kematian akibat “pembunuhan” koq bisa-bisanya ditulis sebagai dugaan kematian akibat “lakalantas”.
Persoalannya kemudian bukan hanya sebuah “surat” yang salah untuk sebuah gelar kasus, tapi juga sebuah “gelar kasus” yang salah berdasarkan sebuah surat yang salah. Jadinya, yang digelar kejati NTT itu bukan lagi “gelar kasus Nurdin”, tapi “ketoprak kasus Nurdin”.
Gelar kasus bertujuan mulia. Untuk mengetahui anatomi kasus (anatomy of case). Materinya meliputi peristiwanya, waktu terjadinya, tempat kejadian perkara, pasal yang dilanggar, sinopsis perkara, pelaku, korban, saksi, barang bukti, dan modus operandi atau motif perbutan pidana.
Dengan gelar kasus, berbagai masukan dapat membuat terang sebuah tindak pidana. Dengannya, penyidik dapat menemukan tersangkanya. Dapat mengukur hasil penyidikan sementara sampai batas gelar kasus itu dilakukan. Dapat memastikan posisi kasus, apakah benar sebagai tindak pidana atau bukan. Dengan demikian pula, dapat menentukan apakah penyidikan dilanjutkan atau tidak.
Semuanya itu menjadi sia-siap pada gelar kasus Nurdin yang dilakukan Kejati NTT. Sebab, substansi kasus yang anatominya hendak dibedah melenceng jauh. Dari dugan pembunuhan ke dugaan lakalantas. Kematian Nurdin akibat pembunuhan digelarkasuskan seolah-olah sebagai kematian akibat lakalantas.
Yang mencengangkan kita, kesalahan teknis perihal surat itu tidak segera disadari dan diperbaiki. Gelar kasus berdasarkan surat yang salah itu pun tidak segera dibatalkan. Mereka tancap terus, tanam kaki, dan tutup mata. Apakah mereka benar-benar tolol sehingga tidak mampu menyadari kesalahan ini?
Kita yakin, mereka tidak tolol. Mereka cerdas. Ah, bukan, mereka licik. Ini rekayasa kasus berlagak keliru. Ini kejahatan etis berdalihkan kesalahan teknis. Ini manipulasi substansial bekedok kealpaan prosedural. Kita yakini ini karena sudah ada presedennya sejak awal kasus Nurdin diproses hukum.
Bagi kita cukup jelas, yang sedang terjadi ini bukan ’penegakan hukum’ (law enforcement), tapi ’pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Gelar kasus pun tak lebih daripada sebuah ketoprak yang tidak lucu. Patut dapat diduga, ‘bedah’ kasusnya tidak lagi dalam debat publik, tapi dalam transaksi antar-rekening.
“Bentara” FLORES POS, Senin 31 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar