Kasus Pembunuhan Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Forum Rakyat Pencari Keadilan (RPEKAD) Bajawa meminta Mahkamah Agung (MA) memeriksa majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Kupang yang telah memutus bebas terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja dalam kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr, imam Katolik dari Keuskupan Agung Ende (Flores Pos Jumat 18 Februari 2011).
Oleh Pengadilan Negeri (PN) Bajawa, Theresia Tawa dan Anus Waja divonis penjara seumur hidup. Putusan ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010). Dalam sidang putusan tingkat banding oleh PT Kupang, kedua terdakwa divonis bebas (Flores Pos Sabtu 21 Agustus 2010).
Menurut RPEKAD, majelas hakim PT Kupang telah salah menerapkan hukum pembuktian. Ini benar-benar memprihatinkan! Peraturan hukuam yang baik menjadi mubazir di tangan perilaku berhukum yang buruk.
Sosiologi hukum mengenal istilah ”mobiliasasi hukum”. Hukum perlu dimobiliasi agar dapat berfungsi. Tanpa mobilisasi, hukum hanyalah ‘huruf-huruf mati’ (black letter law). Karena harus dimobilisasi, hukum bergantung tidak hanya pada leges (peraturan) yang mengukuhkan legalitas, tapi juga pada mores (perilaku) yang menegakkan moralitas. Dua pilar itu sama pentingnya. Yang legal dan yang moral.
Di Indonesia, dua pilar ini sama-sama berdiri. Namun, yang satu tegak-kukuh, yang lain miring- goyah. Pilar peraturan kita banyak. Hitung saja jumlah UU di negeri ini. Sayang, pilar perilaku kita bernatakan. Pada tingkat kritis seperti ini, kalau harus memilih antara peraturan yang baik dan perilaku yang baik, kita tentu memilih yang kedua.
Taverne, profesor hukum berkebangsaan Belanda, pernah berucap. “Berikan kepada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik.” Kalau Taverne meminta itu dari negeri kita, ia bakal stres. Di negeri ini begitu banyak UU yang cacat, bahkan cacat sejak lahir. Cacatnya besar, sedang, dan kecil. Ada yang cacatnya kasatmata, ada pula yang baru diketahui saat UU-nya dijalankan. Kita memilki banyak peraturan yang buruk. Sudah buruk peraturannya, buruk pula perilaku aparatnya: polisi, jaksa, dan hakim. Payah!
Pada awal penyidikan kasus kematian Romo Faustin Sega Pr, perilaku buruk ditampakkan oleh kapolres Ngada kala itu. Kapolres berusaha mati-matian me-mati-wajar-kan Romo Faustin. Pasca-vonis PN Bajawa yang memutus penjara seumur hidup bagi Tawa dan Waja, perilaku buruk dipertontonkan oleh majelis hakim PT Kupang.
Dalam sidang putusan tingkat banding, PT Kupang memvonis bebas Waja dan Tawa. Putusan jungkir balik ini menghina akal sehat. Nalar hukum di baliknya menyedihkan. PT Kupang hanya mendengarkan keterangan dari sedikit saksi yang meringankan, dan mengabaikan keterangan dari begitu banyak saksi yang memberatkan. PT Kupang pun tidak mempertimbangkan semua alat bukti, termasuk hasil autopsi ahli forensik.
Ini contoh nyata betapa berbahayanya perilaku buruk. Putusan rasional di tingkat pengadilan negeri bisa dengan mudah dimentahkan oleh putusan irasional di tingkat banding. Putusan rasional bisa dengan gampangnya dikalahkan oleh putusan transaksional. Atas dasar: kepentingan bertemu kepentingan. Keinginan bersua kebutuhan.
Kita mendesak, majelis hakim PT Kupang harus segera diperiksa!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar