21 Februari 2011

Bunuh Diri di Sikka

Ini Persoalan Negara Juga

Oleh Frans Anggal

Dua warga Kabupaten Sikka tewas gantung diri pada dua tempat berbeda, Kamis 27 Januari 2010. Frans Kalitus (38) dari Napungtaru, Desa Egon, Kecamatan Waigete, dan Sebas Nong (25) warga Jalan Brai, Kecamatan Alok Timur. Frans Kalitus diduga bunuh diri karena impitan ekonomi, sedangkan Sebas Nong karena sakit atau kelainan psikologis (Flores Pos Jumat 28 Januari 2011).

Menurut penuturan istri Frans Kalitus, sehari sebelum bunuh diri suaminya mengembalikan sepeda motor kredit ke dealer di kota Maumere karena tidak sanggup lagi mengangsur kredit Rp566.000 per bulan selam 34 bulan. Motor itu dikredit sejak September 2010. Usai kembalikan motor, suaminya mengambil raskin 15 kg di RT.

Keluarga ini tidak punya tanah. Rumah mereka 3 x 5 beratap pelepah bambu dibangun di atas tanah milik orang lain. Mereka diizinkan menanam jagung di pekarangan. Jagung belum berisi saat kejadian ini nenimpa keluarga. Sang istri menuturkan, ekonomi rumah tangga mereka sangat menyedihkan.

Psikologi menyebutkan, bunuh diri berakar pada depresi. Namun muncul pertanyaan: kenapa harus bunuh diri? Depresi, perasan menurun, muram, sedih, tertekan, bisa menimpa siapa saja. Afeksi manusia tidak stabil dari waktu ke waktu. Pada sementara orang, perasaan tersebut akan berlalu. Kenapa pada yang lain justru berujung dengan gantung diri atau menenggak racun?

Lahirlah simpulan: bunuh diri merupakan masalah kompleks, tanpa penyebab dan alasan tunggal. Bunuh diri merupakan hasil interaksi yang rumit antara faktor biologis, genetis, psikologis, sosial, kultural, dan lingkungan. Oleh karena itu, sulit dijelaskan mengapa sebagian orang bunuh diri sedangkan lainnya tidak.

Kendati demikian, disepakati, hilangnya harapan atau putus asa (hopeless) merupakan faktor terbesar yang melahirkan dorongan bunuh diri, terutama bagi penderita depresi berat. Karena itu pula, depresi merupakan diagnosis paling umum dalam tindak bunuh diri. Pada kasus di Sikka, tuturan sang istri cukup memadai bagi kita untuk yakin sang suami bunuh diri karena depresi akibat lilitan ekonomi.

Andalan utama keluarga ini adalah sepeda motor kredit. Untuk ojekan tentunya. Namun, pendapatan dari pekerjaan ini tidak cukup. Di satu sisi harus menghidupi keluarga, di lain sisi harus membayar kredit Rp566.000 per bulan. Pada titik harus memilih, kewajiban menghidupi keluargalah yang diutamakan, dengan risiko penyetoran kredit ke dealer macet. Karena kredit macet, motor dikembalikan. Sumber nafkah itu hilang. Putus asa.

Bagi kita, lebih jauh, persoalan bunuh diri ini bukan hanya persolan keluarga yang malang itu. Ini persoalan negara juga. Selama pemerintahan SBY, rakyat makin miskin. Ini mendorong mereka melakukan bunuh diri. Mereka sudah tidak mampu membeli beras dan membayar utang.

“Celakanya, meski kecenderungan bunuh diri karena kemiskinan dan kelaparan itu mulai meningkat, saya tidak melihat kebijakan SBY pro rakyat,” kata ekonom Rizal Ismail saat dihubungi Harian Terbit, Jumat 7 Januari 2011 (http://bumnwatch.com). “Lihat saja, semua kebijakan ekonominya tidak ada yang mengarah untuk membantu masyarakat bawah.”

Dalam konteks Sikka, peristiwa bunuh diri ini ‘memalukan’. Pemkab Sikka baru saja menyatakan, selama 2010 Sikka berhasil menurunkan angka kemiskinan, dari sebelumnya 35.979 rumah tangga miskin (RTM) pada 2009 menjadi 34.873 pada 2010. Penurunan mencapai 1.106 RTM (Flores Pos Rabu 19 Januari 2011).

Pemkab banggakan pertumbuhan ekonomi, tapi lupa meratapi dan mengatasi ketimpangan sosial, ketimpangan antar-desa, dan ketimpangan antar-sektor. Bunuh diri muncul dari sini.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 29 Januari 2011

Tidak ada komentar: