Kasus di Manggarai dan Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Nama Kajari Ruteng Gembong Priyanto dicatut seorang penelepon gelap. Si penelepon meminta uang kepada para kepala satuan kerja pernagka daerah (SKPD) Kabupaten Manggarai. Jumlah yang diminta per kepala Rp70-an juta. Katanya, untuk biaya kunjungan kerja aparat Kejaksaan Agung ke Kabupaten Manggarai (Flores Pos Kamis 24 Februari 2011).
Dalam pernyataan persnya, Kajari Priyanto tegaskan, ia tidak pernah minta atau menyuruh orang lain minta sesuatu kepada para kepala SKPD. Ia telah mohon bantuan bupati mengumumkan penipuan ini saat apel pagi. Ia pun telah menyurati bupati Manggarai dan Manggarai Timur: meminta para kepala SKPD tidak melayani siapa pun penelepon yang mengatasnamakan dirinya.
Langkah Kajari Priyanto sangat tepat. Ia cepat lakukan klarifikasi, baik melalui pernyataan pers kepada publik maupun melalui surat kepada bupati dan para kepala SKPD. Mudah-mudahan, dari sekian banyak kepala SKPD yang sempat dihubungi si penipu, tak seorang yang tertipu dan berikan uang.
Apa yang manarik di sini? Pertama, sering dan berulang kalinya modus seperti ini terjadi. “Saya sudah bosan dengan yang begitu-begitu. Karena itu, saya tidak tanggapi,” kata Kadis PU Manggarai Sih Ketut Suastika. Kedua, sering dan berulang kalinya nama aparat penegak hukum dicatut. Ketiga, sering dan berulang kalinya kepala SKPD menjadi sasaran penipuan.
Ada apa di balik fenomena ini? Yang pasti, ada pengetahuan dan perhitungan si pencatut. Mungkin dia tahu, atau boleh jadi dia hanya menduga, para kepala SKPD sedang dalam kondisi psikologis kolektif yang tidak nyaman. Yaitu, merasa terancam karena kapan saja bisa di-tersangka-kan oleh jaksa dalam kasus apa saja yang dapat berpeluang terindikasi korupsi.
Si pencatut rupanya tahu, salah satu lahan korupsi paling subur di negeri ini adalah sektor pengadaan barang dan jasa. Itu tidak meleset. Data Indonesia Procurment Watch (IPW) sepanjang 2001- 2006 memperlihatkan, setiap tahun hampir 60% pengeluaran belanja negara digunakan untuk pengadaan barang dan jasa. IPW juga menemukan, tingkat “kebocoran” di sektor ini sekitar 10%-50%.
Apa iya Manggarai dan Manggarai Timur menjadi kekecualian di tengah kencenderungan umum yang tidak hanya sistemik tapi juga sudah endemic ini? Penelitian Kompas Juli 2008 menggambarkan, sebaran korupsi ada pada 23 dari 33 provinsi, dari Sabang sampai Merauke. Korupsi juga sudah lintas institusi. Semua lembaga pernah terkena.
Masa iya lembaga pemerintah di Manggarai dan Manggarai Timur luput ? Sudah ada kepala SKPD di Manggarai yang masuk penjara karena korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Juga kepala SKPD di Manggarai Timur. Padahal, Manggarai Timur itu kabupaten baru. Namanya juga sistemik dan endemik, korupsi tidak kenal lama dan baru. Kabupaten baru, ya, koruptor baru.
Tampaknya, si pencatut tahu dengan baik, tiap SKPD punya proyek pengadaan barang dan jasa. Ada proyek, berarti ada peluang salah urus. Betapa para kepala SKPD seakan-akan selalu terhantui oleh kekhawatiran ini. Sedikit saja keuangan negara dirugikan, si kepala terancam masuk bui, meski tidak sepeser pun makan duit.
Dalam suasana psikologis kolektif seperti ini, siapakah pihak yang paling mereka takuti? Jaksa! Maka, nama jaksa pun dicatut, untuk memeras kepala SKPD. Pertanyaan kita: seandainya yang terjadi itu bukan pencatutan, apakah para kepala SKPD berani menolak? Anda tahu jawabannya.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 25 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar