Penggantian Direktris RSUD Bajawa
Oleh Frans Anggal
Menanggapi surat pernyataan sikap dr. Aty Due dan keluarga yang merasa diperlakuakn tidak baik berkenaan dengan pelantikan pejabat eselon III pada Selasa 25 Januari 2011, Bupati Ngada Marianus Sae angkat bicara. Dia mengatakan, apa yang dilakukannya telah sesuai dengan prosedur dan aturan hukum yang berlaku (Flores Pos Sabtu 5 Februari 2011).
Dokter Aty Due adalah direktris RSUD Bajawa yang diganti drg. Maria Wea Betu pada pelantikan itu. Saat pelantikan, ia hadir penuhi undangan sebagai kepala organisasi perangkat daerah. Dalam posisi masih sebagai direktris RSUD itulah ia menyaksikan pelantikan penggantinya, sementara ia sendiri belum mendapat surat pemberhentian dan penunjukan ke posisi yang aru (Flores Pos Selasa 1 Februari 2011).
Di mata dr. Aty dan keluarga, penggantian dan pelantikan seperti ini tidak procedural, dan seolah-olah sebagai hukumam berat untuk kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Cara seperti ini menghina martabat pribadi dan keluarga. Mereka merasa dipermalukan di depan publik. Ini pembunuhan karakter. Maka, mereka melayangkan surat pernyataan sikap kepada bupati.
Tanggapan Bupati Marianus Sae? Pertama, penggantian dan pelantikan itu sudah prosedural. Surat pemberhentian dr. Aty sudah diserahkan kepada yang bersangkutan pada Selasa 25 Januari 2011 di RSUD Bajawa, tempatnya bekerja.
Kedua, “Saya tidak sedang mencoreng keluarga, tetapi saya berurusan dengan PNS yang ada di bawah asuhan saya. Keluarga tidak pelru merasa dilecehkan, karena saya jadi bupati bukan untuk urusan keluarga. Saya jadi heran, mengapa keluarga merasa dilecehkan, padahal saya beruurusan dengan PNS yang ada di bawah asuhan dan tanggung jawab saya.”
Terkait alasan pertama. Jawaban bupati sangat informatif sekaligus korektif. Ternyata, SK pemberhentian dr. Aty sudah diserahkan kepada yang bersangkutan. Jadi, legal. Sayangnya, yang legal ini tidak klop dengan yang konvensional atau minimal yang sudah lazim berlaku. Dokter Aty menerima surat pemberhatian itu pada hari yang sama dengan hari pelantikan peggantinya, Selasa 25 Januari 2011.
Kebersamaan waktu ini mengesankan seolah-olah Kabupaten Ngada sedang dalam keadaan perang. Yang kaget-kaget seperti ini lazim untuk situasi gawat darurat yang mengharuskan kecepatan dan kecekatan mengambil keputusan yang tepat pada waktu yang tepat di tengah gejolak yang bia fluktuatif sulit tertebak arah dan dampaknya. Pertanyaan kita: situasi gawat darurat macama apa yang sedang melingkupi Pemkab Ngada saat itu?
Kalau situasi gawat darurat itu tidak ada, maka cara kaget-kaget tadi hanyalah mengada-ada. Dengan kata lain, tidak sepatutnya itu terjadi. Pada titik inilah dr. Aty dan keluarga---juga semua pihak yang cukup rasional---terkaget-kaget: ini koq ada apa, permainan apa, tujuannya apa, sampai harus meng-gawat-darurat-kan hal yang sebetulnya biasa saja dalam hajat kepemerintahan.
Jawaban atas pertanyaan ini tidak ada, bukan? Jawaban bupati sangat sandar. Jawaban legal. Dan itu sudah tepat. Namun, belum lengkap. Sebuah pertanyaan tetap menggantung: ada apa dengan bupati sampai bertindak tidak lazim untuk hal yang biasa? Apakah ia sedang balas jasa dan balas dendam politik pemilukada? Mudah-mudahan tidak. Tapi, kita khawatir, jangan-jangan iya.
“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar