Penyelesaian Tapal Batas Ngada-Matim
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengehendaki penyelesaian masalah perbatasan wilayah Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai Timur dilakukan dengan pola “persehatian batas”. Yakni dengan cara duduk bersama agar persaudaraan tidak tercederai.
Diakuinya, penyelesaian dengan pola ini membutuhkan banyak waktu. Tidak bisa pula dilakukan secara top-down ‘dari atas ke bawah’. Karena itu, ia mengharapkan semua pihak bersabar. Demikian kata anggota DPRD NTT Kornelis Soi saat sosialisasi perda Provinsi NTT di Bajawa (Flores Pos Rabu 26 Januari 2011).
Pernyataan Kornelis Soi ini menjawab pertanyaan seorang peserta sosialsiasi, Alfian, sekcam Soa. Kata Alfian, masalah tapal batas Ngada dan Manggarai Timur sudah berjalan 37 tahun lebih. Telah menjadi momok bagi masyarakat perbatasan. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaian. Pemprov hanya mengulangtahunkan janji penyelesaian.
Penilaian Alfian tepat. Pemprov, dalam hal ini gubernur, hanya mengulangtahunkan janjinya. Dan anggota DPRD Provinsi NTT Korenlis Soi pun hanya mengulangtuturkan janji gubernur. Mari kita toleh ke tahun terdekat, tahun 2010.
Pada Juli 2010, dalam rapat dengan Gubernur Frans Lebu Raya, anggota Fraksi Golkar DPRD NTT Emilianus Charles Lalung mengatakan, ”Kami minta pemerintah provinsi segera menyelesaikan masalah tapal batas di daerah tersebut karena kasusnya sudah sekian lama” (Flores Pos Sabtu 31 Juli 2010).
Permintaan Charles Lalung berkenaan dengan fakta di wilayah tapal batas. Sejak 27 April 2010, ruas jalan provinsi di perbatasan Manggarai Timur dan Ngada diblokir sekelompok orang. Akibatnya, akses ekonomi dan transportasi di wilayah itu macet total.
Apa jawaban gubernur? Penyelesaian sudah dimulai. Masing-masing bupati sudah paparkan peta wilayah. Kini sedang dibentuk tim yang libatkan tokoh masyarakat dan elemen lain dari kedua kabupaten. Pemprov memilih pendekatan kesehatian. Bukan jalur hukum. Jalur hukum bisa membawa ekses buruk.
Saat itu, tentang pola penyelesaian sengketa tapal batas, gubernur menggunakan terminologi “kesehatian”. Sekarang, seperti dikutip Kornelis Soi, menjadi “persehatian batas”. Ini istilah apa lagi? Kata “persehatian”, kita paham, berasal dari kata dasar “hati”, lalu “sehati”, kemudian “bersehati”. Persehatian adalah perihal bersehati. Bersehati tentang tapal batas. Maka, lebih tepat, “persehatian tapal batas”, bukan “persehatian batas”.
Itu hanya soal istilah. Mudah dibetulkan. Yang jadi masalah: gubernur dan para jubirnya hanya berputar-putar dengan istilah, wacana, janji. NATO: no action, talk only. Tak ada tindakan, hanya pernyataan. Patut diduga, sikap inilah yang sesungguhnya diambil, sehingga lahirlah “kesehatian” dan “persehatian”.
Konsepnya seperti apa, rencana tindaknnya bagaimana, tidak jelas. Maka muncullah “harap maklum”: penyelesaian dengan pola ini membutuhkan banyak waktu. Tidak bisa top-down. Sampai di situ ya titik. Masalah tetap masalah, hingga gubenur diganti. Gubernur takut ambil risiko, lalu memilih posisi aman, sehingga tidak melakukan apa pun.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 28 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar