Tanggapan atas Pernyataan Benny K Harman
Oleh Frans Anggal
Setiap tahun sekitar Rp10 triliun dana dari pusat masuk di NTT. Salah satu sumbernya adalah hasil tambang dari daerah lain. Sementara pendapatan asli daerah (PAD) NTT sangat kecil, hanya sekitar lima persen. Ini artinya, pejabat daerah harus meminta bantuan dan dukungan dari pusat. Jika ingin menolak tambang, daerah seharusnya juga menolak masuknya dana di NTT yang bersumber dari kegiatan tambang.
Demikian pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman saat tampil sebagai pemateri dalam seminar nasional bertajuk “Masa Depan Pertambanagan NTT” yang diselenggarakan di Kupang, ibu kota Provinsi NTT, Kamis 10 Februari 2011 (Flores Pos Sabtu 12 Februari 2011).
Pernyatataan Benny Harman terkesan sangat logis. Jikalau mau tolak tambang, daerah juga harus menolak dana pusat yang bersumber dari tambang. Daerah mana di NTT yang notabene ber-PAD rendah ini yang pernah, sedang, dan akan mau menolak dana pusat, termasuk yang bersumber dari tambang? Tidak (akan) ada. Konsekuensinya ya harus terima tambang. Jangan coba-coba tolak tambang.
Logis, bukan? Mari kita mengujinya, dengan cara menerapkannya pada kasus lain. Pers menolak korupsi. Jika ingin konsisten dengan logika Benny Harman, maka kita harus dikatakan:kalau pers menolak korupsi maka pers juga harus menolak uang pelanggan dan pengiklan yang berasal dari korupsi. Bagaimana cara mengecek bahwa uang pelanggan ini dan pemasang iklan itu bersumber dari korupsi?
Contoh lain. Gereja tegas-tegas menolak segala bentuk korupsi. Jika merujuk konsisten pada logika Benny Harman, kita harus mengatakan: kalau gereja menolak korupsi, maka gereja juga harus menolak semua uang derma yang berasal dari korupsi, berapa pun banyaknya. Bagaimana caranya fungsionaris gereja mengecek asal-muasal semua uang itu? Apakah petugas bisa membedakan ini derma hasil korupsi, ini hasil prostitusi, ini hasil perjudian?
Dengan pertanyaan itu, kita hendak menyatakan bahwa pernyataan Benny Harman itu gampang secara logis dan teoritis, tapi sulit secara praktis dan empiris. Lebih daripada itu, pernyataan tersebut akan bermasalah jika diperhadapkan dengn asas subsidiaritas dan solidaritas dalam hidup bernegara kesatuan.
Subsidiaritas dan solidaritas harus berkeserasian. Subsidiaritas tanpa solidaritas berisiko melahirkan bentuk-bentuk lokalisme yang terpusat pada dirinya sendiri. Sebaliknya, solidaritas tanpa subsidiaritas dapat dengan mudah memerosotkan negara menjadi “negara kesejahteraan”. Demi menyerasikan kedua asas ini, campur tangan negara dalam lingkup ekonomi lokal tidak boleh invasif, tapi juga tidak boleh tidak ada. Campur tangan negara harus tetap ada, namun harus tetap berkesepadanan dengan kebutuhan riil masyarakat lokal.
Dengan kata lain, otonomi daerah seyogianya diletakkan pada tercipta dan membesarnya peluang dan kesempatan bagi segenap lapisan masyarakat local untuk menentukan pilihannya, baik di bidang ekonomi maupun di bidang sosial dan budaya. Model otonomi daerah seyogianya mengakomodasi prinsip pembangunan berwawasan kemandirian kokal yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM.
Dalam konteks inilah, tambang bisa dan boleh ditolak oleh sebuah daerah---jika kebutuhan riilnya memang begitu---tanpa harus kehilangan hak atas dana dari pusat. Campur tangan pusat tidak boleh tidak ada. Harus tetap ada. Namun harus tetap sepadan dengan kebutuhan riil daerah.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar