29 Oktober 2010

Ini Juga Tragedi Moral

Tenggelamnya KM Karya Pinang

Oleh Frans Anggal

KM Karya Pinang yang tenggelam di perairan Sada Watu Manuk, Flores, Jumat 22 Oktober 2010, dikemudi oleh anggota DPRD Sikka, Frans Ropi Cinde. Ini terungkap dari penyidikan terhadap nakhoda Adeodatus Rangga alias Ora yang sudah ditahan Polres Sikka (Flores Pos Kamis 28 Oktober 2010)..

Dalam kecelakaan ini---data hingga Rabu 27 Oktober 2010---sebanyak 14 meninggal, 9 hilang, 43 selamat. Pencarian korban masih barlangsung. Pemkab Sikka memperpanjang masa pencarian.

Sejak bertolak dari Palue hingga tenggelam, kapal dikemudi Frans Cinde. Begitu kesaksian banyak korban selamat. Ini fakta tak terbantahkan. Yang belum jelas, mengapa, bagaimana, dan untuk apa kemudi dialihtangankan ke seseorang yang berstatus penumpang. Proses hukum akan menjawabnya.

Sejauh diberitakan, penjelasan Ora sebatas menjawab pertanyaan mengapa ia tidak (segera) mengambil alih kemudi ketika tanda-tanda bahaya sudah di depan mata. ”Saya malu dan takut minta Frans Cinde agar jangan duduk di ruang kemudi. Saya juga malu untuk minta ambil (dan) nakhodai kapal, karena ia seorang pejabat.”

Malu, segan, takut. Ini sifat psikologis. Yang psikologis ini begitu dominan dan determinannya hingga mengalahkan yang etis: tanggung jawab dan tanggung gugat. Dampaknya, puluhan nyawa hilang sia-sia. Ini sudah jadi fenomena umum dunia angkutan. Di darat, kita kenal ”sopir tembak”. Banyak kecelakaan terjadi di tangan sopir jenis ini. Kemudi begitu entengnya dialihtangankan hanya karena pertemanan.

Budaya politik negeri ini pun ditandai fenomena serupa. Sifat psikologis lebih dihargai ketimbang sifat moral. Seorang koruptor dan penjahat kemanusiaan bisa dengan mudahnya diampuni tanpa diadili. Pengampunan diberikan tanpa pamastian apa persis bentuk kesalahannya. Rasa tak tega (sifat psikologis) mengalahkan rasa keadilan (sifat moral).

Contoh paling jelas, Soeharto. Tidak ada putusan pengadilan yang memastikan bentuk kesalahannya. Eh, tiba-tiba muncul wacana memaafkan Soeharto. Eh, tiba-tiba muncul lagi wacana memahlawankan Soeharto. Ini budaya politik buruk. Melemahkan sendi negara hukum. Negara hukum adalah negara yang memenangkan sifat moral di atas sifat psikologis.

Dalam konteks ini, tenggelamnya KM Karya Pinang tidak hanya tregadi kemanusiaan. Ini juga tregadi moral. Hancurnya yang etis oleh yang psikologis. Seandainya Ora tempatkan tanggung jawab dan tanggung gugatnya terhadap keselamatan penumpang, di atas malu dan takutnya terhadap Frans Cinde, ceritanya mungkin lain.

Hingga kini, Frans Cinde belum bisa dihubungi. Telepon masuk tidak ia angkat. SMS masuk tidak ia balas. Tampaknya ia memilih diam. Ia tidak gunakan hak jawab, yang bisa membenarkan, membantah, mengoreksi, atau menyempurnakan keterangan Ora. Akal sehat kita menduga, ia memilih diam sebagai emas mungkin karena ia sedang cemas.

Betapa tidak. Di tangannyalah kapal itu tenggelam. Di tangannyalah puluhan jiwa melayang. Kisah Frans Cinde ”juru mudi tembak” memperpanjang kisah ”tembak” anggota dewan. Apa yang kita kenal dengan stuba dewan boleh jadi hanyalah aksi ”peneliti tembak”. Di Pusat, anggota Badan Kehormatan DPR kebelet jadi ”filosof tembak”. Ngotot pergi belajar etika di Yunani. Hmm. Mereka merasa bisa, tanpa bisa merasa.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Oktober 2010

Tidak ada komentar: