26 Oktober 2010

Soeharto Pahlawan?

Tidak Setiap Penjasa Itu Pahlawan

Oleh Frans Anggal

Mantan Wapres RI Jusuf Kalla (JK) berpendapat, rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bisa dimengerti. Soeharto punya kontribusi besar bagi negeri ini. Namun, segala sesuatunya perlu dipertimbangkan. Khususnya pro dan kontranya (Flores Pos Senin 25 Oktober 2010).

JK tidak lugas nyatakan setuju atau tolak. Ia hanya minta pemberian gelar tidak tergesa-gesa. Sebab, masih ada pro dan kontra. Tunggu dulu, sampai pro dan kontra reda. Begitu pro dan kontra lenyap, silakan.

Pendapat JK seakan dibenarkan sejarahwan UI, Magdalia Alfian. Dia bilang, faktor waktu sangat berpengaruh. Masyarakat sekarang masih bisa melihat dan bahkan mengingat tindak-tanduk Soeharto. Euforia reformasi masih kental. Jadi, “Terlalu cepat pengajuan gelar ini. Seandainya 5-10 tahun yang akan datang baru diajukan, mungkin lain ceritanya” (Okezone Jumat 22 Oktober 2010).

Wacananya betul-betul dangkal. Penggelaran pahlawan sekadar masalah teknis. Soal waktu. Makin panjang rentang waktunya, makin terkikis sosok sang tokoh dalam ingatan publik, dengan demikian makin berkurang pro dan kontranya, sehingga makin mudahlah sang tokoh digelari pahlawan. Di sini, kelupaan sejarah, amnesia historis, dipandang sebagai solusi pemahlawanan. Mengerikan.

Karena investasi utamanya waktu dan kelupaan, maka semua mantan presiden jangan saling iri. Semua pasti di-pahlawan-nasional-kan. Habibie, Gus Dur, Mega, SBY, harap bersabar. Pada saatnya, kamu akan dapat. Di negeri ini, kepahlawanan itu soal teknis. Soal waktu. Soal giliran. Soal arisan.

Secara demikian, seandainya lahir dan berkuasa di Indonesia, Hitler pun bisa jadi pahlawan nasional, meski sudah bantai jutaan orang. Waktu bisa pudarkan kejahatan kemanusiaannya dari ingatan publik. Kurang lebih begitulah konsekuensi logis dari wacana ala politikus JK dan sejarahwan Magdalia Alfian.

“Terlalu cepat pengajuan gelar ini,” kata Magdalia Alfian. Aha! Dia keliru. Penggelaran pahlawan itu bukan soal “cepat”, tapi soal “tepat”. Soal ‘layak dan patut’ (fit and proper). Kata ’layak’ menunjuk muatan formal. Kata ’patut’ menunjuk muatan moral. Secara formal, Soeharto ’layak’. Dibandingkan dengan 9 calon pahlawan nasional lain yang diajukan tahun ini ke Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa, Soeharto paling ‘layak’. Dia hidup dan berperan besar dalam empat masa pembangunan, 1945-2008.

Yang jadi soal, apakah dia juga ‘patut’? Tidak! Ia koruptor. Ini “gelar” sah, karena tercantum dalam Tap MPR 11/2008 (tentang pemberantasan KKN yang dilakukan Soeharto dan keluarganya). Kan lucu, tap koruptornya belum dicabut, sekarang mau bikin tap pahlawannya. Pahlawan yang koruptor. Koruptor yang pahlawan. Janggal. Belum lagi pelanggaran HAM beratnya yang belum lenyap dari perbincangan internasional. Makin janggal.

Bahwa Soeharto berjasa, ya. Untuk itu, ia sudah digelari bapak pembangunan. Itu sudah cukup. Tidak setiap penjasa itu pahlawan. Penjasa: orang yang berikan jasa khusus. Sedangkan pahlawan: orang yang berikan pengorbanan khusus. Berjasa: memberikan sesuatu. Sedangkan berkorban: kehilangan sesuatu (bdk esai Ignas Kleden, Tempo 17 Februari 2008).

Soeharto tidak berikan pengorbanan khusus. Ia tidak korbankan diri. Sebaliknya, ia korbankan (banyak) orang lain. Ia tidak kehilangan sesuatu. Sebaliknya, ia mendapat segala sesuatu. Ia tidak layak dipahlawankan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 Oktober 2010

Tidak ada komentar: