Kaji Ulang Perda Tambang NTT
Oleh Frans Anggal
Anggota DPRD NTT dari PKS H Zainal Abidin Thayib meminta Pemprov NTT mengkaji ulang Perda Provinsi NTT tentang Pertambangan Mineral dan Energi. NTT miliki cukup banyak potensi andalan, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, perikanan, pariwisata. Ia minta pemprov ajukan beberapa alternatif pengelolaan potensi daerah (Flores Pos Kamis 7 Oktober 2010).
Di Kabupaten Ende, kata Thayib, ketika perda pertambangan disosialisasikan, masyarakat justru minta agar perda itu dikaji kembali. Menurut mereka, tambang tidak datangkan kemakmuran bagi masyarakat. Setelah eskplorasi---belum eksploitasi!---sudah muncul banyak persoalan, seperti kerusakan lingkungan. Pengusaha sering abaikan amdal.
Fenomena bagus. Sudah ada anggota dewan dan warga yang berpikir jauh. Mereka belum banyak. Namun, mereka elemen penting masa depan NTT. Mereka terbatas. Namun, mereka sudah ada di mana-mana. Mereka inilah ”kader” harapan.
Mereka kita harapkan, karena provinsi ini, sebagaimana juga negeri ini, penuh dengan oportunitas, dan dipimpin banyak oportunis. Mereka hanya pikirkan mengambil kuntungan bagi diri dari keempatan yang ada, sekalipun itu mengangkangi hukum dan moral.
Di NTT, yang mayoritas kristiani, oportunitas itu justru ”sempurna”. NTT termasuk termiskin, tapi jawara korupi. Tahun 2009, Kupang, ibu kotanya, ”dinobatkan” sebagai kota terkorup di Indonesia. Lirik lagu Ebiet G Ade ”Untuk Kita Renungkan” seakan terpenuhi. ”Dalam kekalutan, masih ada tangan yang tega berbuat nista.”
Berbuat nista: mencuri nasi dari piring orang miskin. Atau, dengan matafor lain: mengail di air keruh. Mengeruhkan air jernih agar mudah mengail. Memperkeruh air keruh agar semakin mudah mengail. NTT dan Indonesia penuh pengeruhan. Dibutuhkan ”kader” yang mau dan berani lakukan penjernihan.
Di parlemen, ”kader” itu ada. Sayang, mereka masih sedikit. Selalu kalah dalam suara, meski menang dalam kebenaran. Di parlemen, jumlah mengalahkan mutu. Saat voting, nasib kebenaran berada di ujung jari. Menang kalahnya kebenaran ditentukan jumlah jari yang diunjukkan. Tidak oleh argumentasi yang diajukan.
Dalam pertambangan, drama ini terjadi di ruang sidang Senayan. Ketika UU Minerba disahkan 15 Desember 2008, hanya tiga fraksi yang menolak. UU ini masih mengandung beberapa pasal yang kontradiktif secara substansial dan dikhawatirkan tidak bakal operasional. Mereka walk out. Tapi ketok palu jalan terus. Mereka kalah suara, kalah jumlah, meski unggul argumentasi.
Koordinator Nasional JATAM Siti Maemunah menyimpulkan tepat. UU Minerba adalah hasil kompromi partai-partai penguasa Senayan yang selama ini banyak mendapat manfaat dari sektor pertambangan (Kompas 26 Desember 2008). Jadi, ini UU hasil kompromi para oportunis.
UU-nya sudah begitu. Apakah Perda Provinsi NTT tentang Pertambangan Mineral dan Energi yang (akan) merujuk UU itu luput dari oportunitas yang sama? Di sinilah para ”kader” dibutuhkan. Mereka sudah ada. Namun masih berpencar, sporadis. Mereka butuhkan jejaring dan komunikasi guna lahirkan sinergi. Diperlukan konduktor andal. Siapa yang mau dan berani?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar