14 Oktober 2010

Selamat Tidur, Polisi!

Maraknya Vigilantisme di Indonesia

Oleh Frans Anggal

Kehadiran Tera Patrick dalam film horor Indonesia membuat gerah Front Pembela Islam (FPI). FPI siap mencegat bintang film porno itu jika ia datang lagi ke Tanah Air untuk promosikan filmnya. ”Kita akan menggelar aksi di bandara kalau bintang film Amerika itu datang lagi ke Indonesia,” kata Ketua FPI DKI Jakarta Habib Saim Umar Alatas (Flores Pos Rabu 13 Oktober 2010).

Tera Patrick sudah datang. Sudah syuting. Dan sudah pulang. Rencana kedatangan dan pengambilan gambarnya untuk film ”Rintihan Kuntilanak Perawan” sepi dari liputan media. Tidak seheboh rencana kedatangan dan pengambilan gambar ”Menculik Miyabi” yang dimainkan bintang film porno asal Jepang, Maria Ozawa Miyabi, kali lalu. Mbak Tera aman. Sedangkan Mbak Miyabi menangis karena syutingnya terpaksa pindah ke Jepang.

Rupanya produser KK Dheeraj belajar dari kasus Miyabi. Publikasi rencana kedatangan dan syuting tidak boleh heboh. Harus diam-diam. Mbak Tera pun didatangkan diam-diam. Syuting diam-diam. Kaget-kaget, sudah pulang. Filmnya sudah diloloskan Lembaga Sensor Film (LSF). Dan siap tayang.

Seperti “Menculik Miyabi”, “Rintihan Kuntilanak Perawan” hanyalah film horor. Bagi FPI, yang penting tidak porno, tidak apa-apa. Yang bikin FPI gerah, kenapa film horor harus diperankan bintang porno. ”Memangnya tidak ada yang cantik dan berakhlak bintang film kita?" kata Habib Salim Alatas. Maka, “… kalau dia (Tera Patrick) main film horor, ya tidak apa-apa, tapi kita menolak kedatangannya ke Indonesia karena haram hukumnya!"

Menolak kedatangan bintang porno dari mana pun! Itulah sikap FPI. Implikasinya---sebagaimana alasan tindak kekerasannya sejak 2001---FPI akan ‘beraksi’ kalau aparat negara tidak bertindak setelah diingatkan. FPI mengambil alih tugas negara ketika negara dinilainya lalai.

Dari modus ini, aksi FPI bukan premanisme dalam batasan ala Miller (1958). Lebih tepat, ini vigilantisme. Paham yang membenarkan tindak kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum. The Lexicon Webster Dictionary (1971) merujuknya ke vigilance committee dalam sejarah AS. Yaitu, lembaga ekstralegal, berkeanggotaan sukarela dan terorganisasi, yang menjaga aturan dan menghukum pelanggar, di dalam wilayah di mana otoritas legal tidak bekerja baik atau mengecewakan. Anggotanya disebut vigilante.

Dalam konteks Indonesia, vigilantisme mengemuka sejalan dengan kian maraknya tindak kekerasan oleh kelompok warga terhadap warga lain. Kelompok paling terkenal, FPI. Organisasi Islam garis keras. Berdiri dengan tujuan menegakkan syariat Islam di negara sekular. Dideklarasikan 17 Agustus 1998, hanya empat bulan setelah Soeharto mundur. Kenapa? Pada masa Soeharto, tindakan ekstremis dalam bentuk apa pun tidak ditoleransi.

Dalam hal satu ini, Soeharto dan Orde Baru hebat, dan tepat. Kekerasan itu monopoli negara. Personifikasi negara, dalam hal ini, polisi. Dalam ranah penegakan hukum, atas dasar rasional dengan kadar proporsional, penggunaan kekerasan oleh polisi dibenarkan secara hukum.

Karena hanya negaralah yang memonopoli kekerasan, dan polisilah personifikasinya dalam hal ini, maka hanya polisilah yang boleh melakukan kekerasan. Ini diskresi. Bukan diskriminasi. Di era Reformasi, batasan ini kabur. FPI jadi polisi (moral), sedangkan polisi (hukum) tidur atau jadi penonton.

Wah. Lengkap sudah kebobrokan negeri ini. Negeri para koruptor. Negeri para teroris. Negeri para vigilante. Selamat tidur, polisi!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 14 Oktober 2010

Tidak ada komentar: