Emas Gantikan Kuningan
Oleh Frans Anggal
Anggota DPRD Manggarai 2009-2014 mendapat lencana emas 23 karat, 4 gram. Harga per buah Rp2,5 juta. Dikali dengan jumlah anggota dewan 40 orang, anggarannya Rp100 juta. Mereka juga dapat pakaian dinas 3 setel dan 1 jas per anggota per tahun, total Rp115 juta. Ditambah mebel: lemari, sofa, meja, spring bed, dll, seluruhnya Rp500 juta. Untuk semua itu, tahun 2010, anggarannya Rp715 juta (Flores Pos Selasa 5 Oktober 2010).
”Pengadaan itu ada dasarnya. Berlaku secara nasional, dan kita sudah adakan. Para anggota dewan sudah menerimanya,” kata Sekwan Primus Parman. Ia merujuk PP 24/2004 dan PP 21/ 2007. ”Benar, kami sudah terima,” aku anggota dewan Grag Gaguk. ”Para anggota telah menerima apa yang menjadi haknya.”
Logika Primus Parman (wakil pemerintah) dan Grag Gaguk (wakil DPRD) klop. Pengadaan atribut, pakaian, dan mebel ada aturannya. Aturan itu mewajibkan. Maka, pengadaan barang-barang itu wajib hukumnya. Pewajiban ditujukan pada pemerintah. Pemerintah pengemban kewajiban. Sedangkan dewan pengemban hak. Maka, tepat: ini hak dewan.
Pada hampir semua kasus pengadaan barang dan jasa bagi dewan, yang (mau) dilihat hanya sisi legalitasnya. Sisi moralitasnya tidak. Yang dipertimbangkan hanya persoalan teknisnya. Persoalan etisnya tidak.
Pengadaan lencana emas pun seperti itu. Menurut Sekwan Primus Parman, lencana emas dipilih karena lebih permanen ketimbang lencana kuningan. Dari pengalaman, kuningan cepat pudar. Karena permanennya, lencana emas diadakan cukup sekali untuk lima tahun masa tugas anggota dewan.
Betul-betul teknis. Karena melulu teknis, 4 gram masih bisa kita persoalkan. Permanenannya masih kurang. Empat gram itu cepat aus. Kenapa tidak 100 gram saja. Lebih permanen. Apa susahnya. Aturan ada. Anggaran ada atau mudah diadakan. Tinggal kurangi jatah rakyat, emas 100 gram bergelantung di dada wakil rakyat.
Apa yang terabaikan di sini? Etika parlemen! Parlemen itu wakil rakyat. Mereka dimandati rakyat untuk perjuangkan dan distribusikan keadilan bagi rakyat. Jadi, mereka pelayan rakyat, sekaligus pejuang keadilan. Dalam etika ini, semua tupoksi, kewenangan, dan hak hanyalah alat distribusi keadilan sosial, bukan sarana akumulasi kehormatan diri dan kekayaan pribadi.
Maka, pertanyaan kita: efek keadilan sosial apa yang muncul, atau diandaikan muncul, dari lencana emas 40 anggota dewan? Tidak ada! Kalau efek langsung tidak ada, karena lencana itu hanya simbol, minimal ada efek tidak langsung. Efek psikologis. Efek pencitraan. Sayang, justru jauh dari citra keadilan sosial.
Di mata anggota dewan, lencana emas boleh jadi pencitraan diri positif. Mereka merasa diri lebih berwibawa, lebih dihormati, lebih disegani. Di mata rakyat, lain sama sekali. Rakyat bisa geleng-geleng kepala sambil bergumam: ”Hmmm, wakil rakyat. Dulu mengemis suara rakyat, sekarang mengemas suara lain. Dulu katanya pelayan, kini berlagak tuan.”
Lencana sudah dibagikan. Sudah pula disematkan. Menariknya kembali, sulit. Maka, kini tinggal tunggu dan lihat. Apakah otak, hati, dan tindakan anggota dewan akan turut berkualitas emas. Ataukah tetap saja kuningan. Atau malah melorot jadi logam karatan. Pertanyaan ini mengandung imperatif moral. Perjuangkan dan distribusikan keadilan bagi rakyat! Tanpa itu, lencana kencana hanyalah lencana bencana. Sebuah skandal!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar