30 Oktober 2010

Untuk “Mosalaki” Pantai

Penyegelan Kantor Desa di Ende

Oleh Frans Anggal

Masyarakat Desa Aewora, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, kembali menyegel kantor desa setelah penyegelan pertama dibongkar polisi. Penyegelan ulang mereka lakukan karena tuntutan mereka belum terpenuhi. Yakni, penyelesaian tuntas kasus penyalahgunaan raskin dan penyelewengan keuangan desa oleh kades (Flores Pos Jumat 29 Oktober 2010).

Kasus raskin dan keuangan desa telah mereka laporkan ke pemerintah dan DPRD beberapa waktu lalu. Tunggu punya tunggu, tak ada penyelesaian. Kantor desa pun mereka segel Rabu 27 Oktober 2010. Polisi membongkarnya. ”Mosalaki” (kepala persekutuan adat sekaligus tuan tanah) merasa dilecehkan. Maka, kantor itu mereka segel ulang Kamis 28 Oktober. Dan, mereka jaga.

”Mereka (polisi) datang buka segel tidak beri tahu ’mosalaki’ dan tua adat. Mereka sudah hina para tua adat, dan kami tidak terima itu,” kata Yulius Mangu, anak ”mosalaki”. Kenapa mereka merasa dilecehkan? Kenapa pula, karena merasa dilecehkan, mereka segel kantor desa?

Dalam struktur kekuasaan adat Lio, mereka ini penguasa dan pemangku hak ulayat wilayah pantai (mosalaki dai mata ma’u enga nanga). Tugasnya, menyapa ramah para pendatang (talu rapa sambu, tawa rapa rega). Pantai itu pintu komunikasi dengan dunia luar, sekaligus gerbang peradaban. Maka, etos ke-mosalaki-annya adalah hospitalitas, keramahtamahan menerima tamu. Nah, kalau sampai mereka tidak ramah, tentu ada yang tidak beres.

Dalam kasus ini, yang tidak beres itu kades. Raskin ia salahgunaan, keuangan desa ia selewengkan. Sudah dilaporkan ke pemerintah dan DPRD. Namun penyelesaiannya lamban. Mereka tidak tahan. Mereka harus bersikap dan bertindak. Mereka tak punya daya tawar lain selain milik yang telah mereka serahkan ke pemerintah: tanah. Karena dibangun di atas tanah itulah, kantor desa mereka segel. Mereka akan buka kalau kasus diselesaikan.

Tindakan mereka jelas salah. Pertama, raksin dan keuangan desa itu bukan perkara adat. Ke-mosalakian-an tidak relevan di sini. Kedua, dengan telah diserahkan kepada pemerintah, tanah tempat kantor desa itu bukan lagi milik ”mosalaki”. Maka, menyegel kantor desa merupakan tindak penyerobotan.

Diwawas dengan kearifan budaya Lio, tindakan menyegel itu tidak bijaksana. Itu sama dengan mencopot tangga, menutup, dan mengunci pintu rumah (lai tangi, usu pere, sube pere). Justru dalam rumah itulah seharusnya masalah diselesaikan. Kalau tangganya dicopot, pintunya dipalang, rumah itu bukan rumah lagi. Ia hilang. Hilangnya rumah berarti hilangnya tempat paling intim bagi hospitalitas.

Selanjutnya, hilangnya hospitalitas berarti hilangnya etos yang semestinya melekat pada diri ”mosalaki” wilayah pantai. Sebab, tugasnya menyapa ramah pendatang. Keramahan paling intim justru di dalam rumah. Kalau rumah hilang, apa jadinya? Runyam!

Dengan filosofi ini, kita mendesak ”mosalaki” segera bongkar segel kantor desa. Tempuh (lagi) cara yang baik. Jangan gunakan solusi yang bukan solusi. Jangan atasi masalah dengan (buat) masalah.

Usahakan, datangi (lagi) camat dan DPRD. Dari dapil setempat, banyak orang hebat di dewan. Ada Marsel Petu yang ketua dewan. Ada Yustinus Sani, Armin W Wasa, Gabriel D Ema, dll. Tagih (lagi) janji mereka. Nyatakan terus terang: kami bosan dengan janji, janji, dan janji!

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 30 Oktober 2010

Tidak ada komentar: