Pengujian UU Sisdiknas
Oleh Frans Anggal
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang diajukan Yayasan Salafiyah Pekalongan dan Yayasan Santa Maria Pelakongan (Flores Pos Kamis 14 Oktober 2010).
Dalam pokok permohonannya, pemohon persoalkan kata ”dapat” pada pasal 55, ayat 4. Bunyinya: lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Menurut pemohon, kata ”dapat” itu mengimplikasikan dua hal. Pertama, menghilangkan atau setidak-tidaknya berpotensi menghilangkan kewajiban pemerintah/hak pemohon dalam pembiayaan pendidikan dasar. Kedua, menghilangkan atau setidak-tidaknya berpotensi menghilangkan (1) hak konstitusional dapatkan perlakuan sama di hadapan hukum, (2) jaminan mendapatkan kepastian hukum, (3) hak mendapatkan perlakuan tidak diskriminatif serta perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.
Agar konteksnya jelas, simaklah pesan yang wajib dicantumkan pada setiap bungkusan rokok. ”Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Seandainya kata ”dapat” dihilangkan, pesan ini mengandung pemutlakan: merokok (pasti) menyebabkan kanker dst.
Faktanya? Ada bahkan banyak perokok tidak menderita kanker dst. Dengan hanya satu perokok seperti ini, pemutlakan itu gugur. Karena itulah, kata ”dapat” harus dicantumkan. Dengan demikian, menjadi benar: merokok bisa menyebabkan kanker dst, bisa juga tidak.
Yang membaca filosof Karl R Popper mengenal ini sebagai asas falsifiabilitas, yang mengadung asimetri logis berdasarkan hukum logika. Entah sudah berapa banyak perokok yang menderita kanker, secara logis tidak bisa dikatakan semua perokok menderita kanker. Sebaliknya, cukup hanya satu perokok yang tidak menderita kanker maka bisa dipastikan tidak semua perokok menderita kanker.
Pasal 55, ayat 4, UU Sisdiknas: lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan secara adil dan merata dari pemerintah. Artinya? Bantuan itu bisa diperoleh, bisa juga tidak. Tidak ada pewajiban mutlak pada pemerintah untuk memberikan bantuan.
Pemohon menutut kata ”dapat” itu dicabut. Kalau tanpa kata ”dapat” maka pemerintah berkewajiban mutlak memberikan bantuan. Pertanyaan kita: baik dan benarkah pemutlakan seperti ini? Tidak! Ini melanggar asas subsidiaritas. Apa yang bisa oleh masyarakat sendiri, tidak perlu (lagi) oleh pemerintah. Tapi, apa yang tidak bisa oleh masyarakat sendiri, wajib dilakukan (dibantu) pemerintah.
Berdasarkan asas ini, pencatuman kata ”dapat” itu tepat. Lucunya: implikasi minimal yang diandaikan pemohon, secara konsisten-logis justru mendukung kata ”dapat”. Pemohon menyatakan: kata ”dapat” pada pasal tersebut ... setidak-tidaknya berpotensi menghilangkan kewajiban pemerintah dst. Kata ”berpotensi” sama maknanya dengan kata ”dapat”: bisa ya, bisa tidak. Bisa hilangkan kewajiban pemerintah, bisa juga tidak. Jadi, pemohon menolak kata ”dapat” dengan menggunakan (sinonim) kata ”dapat”. Mana tidak lucu itu.
Kita tidak hendak remehkan maksud baik pemohon. Yang mau kita tekankan: maksud baik saja tidak cukup. Maksud baik perlu didukung penalaran absah. Hati perlu diteguhkan otak. Juga sebaliknya. Nalar mengajar, budi menakar.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 15 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar