NTT Kekurangan Dokter Spesialis
Oleh Frans Anggal
Provinsi NTT kekurangan dokter, terutama dokter spesialis. Saat ini NTT hanya miliki 53 spesialis. Dengan jumlah itu, NTT masih kekurangan 47, berdasarkan standar Depkes 1997. Kenapa kurang? Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi NTT Jakobus Atasoge kasih jawaban.
Menurut dia, penyebabnya adalah rasa enggan para dokter spesialis. Topografi, sarana dan prasarana, serta tingkat kesejahteraan masyarakat NTT kurang menguntungkan para dokter. ”Rasa enggan seperti ini wajar dan normal, dan mencerminkan perilaku dalam pasar kerja, apalagi (untuk) profesi dokter ahli” (Flores Pos Rabu 27 Oktober 2010).
Agumentasi ini memurukkan citra dokter spesialis. Terkesan, para profesional medis ini tidak lebih daripada pencaker (pencari kerja), bahkan pencatung (pencari untung). Panggilan luhur profesi mereka seakan hanya diperuntukkan bagi masyarakat kaya, di wilayah topografi mudah, dengan sarana dan prasarana nyaman. Spesialis identik dengan elitis.
Pemurukan ini kian ’sempurna’ karena pemerintah mengambil sikap etis yang sesat. Jakobus Atasoge bilang, ”Rasa enggan seperti ini wajar dan normal.” Pemosisian kita justru sebaliknya. Ini tidak wajar dan tidak normal. Ini melanggar asas profesionalisme. Yaitu: kesanggupan melayani klien dalam hal-hal yang mati-matian dibutuhkannya, dengan keahlian sedemikian rupa, sehingga kepentingan klien selalu diutamakan di atas kepentingan sang profesional (Bernhard Kieser: 1991).
NTT akan selalu kekurangan dokter spesialis kalau cara wawas pemerintah masih seperti itu. Biang kerok selalu ditudingkan ke dokter spesialis. Tidak diarahkan ke diri sendiri. Pemerintah suka memandang kutu di seberang lautan, tapi enggan menatap gajah di pelupuk mata. Gajah di pelupuk mata itu adalah manajemen salah urus.
Contoh. Untuk perjalanan dinas gubenur, bupati, walikota, miliaran rupiah bisa habis dengan mudah. Jadi, uang ada, cukup. Tapi untuk menggaji pantas dokter spesialis, ’tiba-tiba’ uang tidak ada. Dalihnya dana terbatas. Persoalannya bukan dana terbatas, tapi pemanfaatan tak tahu batas. Yah, manajemen salah urus. Tidak tahu skala prioritas, suka boros, dan gemar kurup.
Dengan ini, kita tolak pemurukan citra dokter spesialis. Apalagi menganggap itu wajar dan normal. Mereka tidak seburuk itu. Tengoklah Sikka. Dokter spesialis RSUD Maumere siap bantu RSU Santo Gabriel. ”Saya akan bantu di sela-sela kesibukan. Toh yang dilayani di RSU Santo Gabriel adalah masyarakat Sikka (juga),” kata Asep Purnama, spesialis penyakit dalam. Sebagai Direktur RSUD (milik pemerintah), ia mengajak dokter spesialis lain luangkan waktu layani pasien RSU Santo Gabriel (milik swasta).
Masyarakat Sikka patut bersyukur. Pemkab Sikka patut berbangga. Mereka punya dokter spesialis seperti ini. Dokter, pelindung manusia. Yang tidak perjual-belikan manusia sakit bagaikan barang. Yang tidak manfaatkan derita orang sakit untuk cari untung.
Ini sebuah kesaksian, yang membantah profesional medis sekadar pencaker dan pencatung. Yang membantah panggilan profesi dokter spesialis hanya bagi masyarakat kaya, di wilayah topografi mudah, dengan sarana dan prasarana nyaman.
Sebaliknya. Kesaksian dari Sikka meneguhkan satu hal. Semakin spesialis haruslah berarti semakin etis, bukan semakin elitis.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar