01 Oktober 2010

Pancasila Tidak Sakti

Perlunya Demitologi Pancasila

Oleh Frans Anggal

Hari ini, Jumat 1 Oktober 2010, apa yang kita peringati? Seandainya Orde Baru belum runtuh, hari ini wajib diperingati sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”. Begitulah penamaannya oleh Orde Baru.

Sakti berarti mampu berbuat sesuatu yang lampaui kodrat alam. Bertuah. Seakan-akan, oleh Pancasila semuanya beres. Tidak perlu kerja. Pancasila bisa bimsalabim apa saja jadi benar, adil, damai.

Pancasila lahir 1 Juni 1945. Sudah 65 tahun, seusia Indonesia. Kalau benar sakti, kebertuahannya 65 tahun semestinya sudah jadikan negeri ini paling adil dan makmur di dunia. Kenyataannya? Indonesia penuh koruptor, teroris, preman. Terpuruk di belakang negara tanpa Pancasila. Artinya apa?

Pancasila tidak sakti. Ia cuma ideologi. Tidak ada ideologi yang sakti. Komunisme, sistem kekuasaan ideologis terkuat, dan sosialisme, ideologi keselamatan sekularistik paling mengharukan, akhirnya lunglai . Pada 1991, Uni Soviet kampiun komunisme itu hancur. Imperialisme Rusia 300 tahun pun berakhir. Tak ada yang sakti. Semua bisa mati. Termasuk Pancasila.

Ini penting agar kita tak lengah. Dari dirinya, Pancasila tak mampu berbuat. Ia bukan makhluk atau mesin. Ia kesepakatan dan tugas. Nasibnya tergantung pada yang bersepakat. Jika kesepakatan dikhianati dan tugas diingkari, Pancasila tak bakal nyata. Ia cuma antah menuju tiada.

Meng-antah-kan Pancasila, itulah yang mengancam keindonesiaan. Masa Orde Lama, 1945-1950-an, orang tak bicarakan Pancasila. Baru pada 1959, disebut-sebut sebagai aspirasi bangsa, tapi disimpangkan ke Nasakom. Mulai 1966, “melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen” didengungkan Orde Baru untuk ‘mengoreksi’ Orde Lama. Eh, sama saja. Jauh kata dari tingkah. Di era Reformasi, makin gawat. Sudah di-“antah”-kan, Pancasila mau di-”tiada”-kan.

Pancasila tidak sakti. Tidak perlu pula disaktikan. Penyaktian ideologi, langkah mundur peradaban. “Idea” yang sudah di-”logos”-kan koq mau di-“mitos”-kan. Itulah yang dibuat Orde Baru dengan morfologi penyaktian: Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila dimitologikan.

Untuk apa? Untuk kelanggengan kekuasaan. Tiap mitologi butuhkan tokoh dan kisah. Ada pahlawan, ada pecundang. Pahlawan perlukan kisah heroik. Pecundang perlukan kisah khianat . Dalam mitologi Pancasila, pahlawan itu Orde Baru (Soeharto). Pecundang itu PKI. Mengalahkan Orde Baru sama dengan meniadakan Pancasila. Maka, Orde Baru harus tetap menang agar Pancasila tetap aman.

Mitologi itu menyamakan Pancasila dengan Orde Baru. Karena keduanya disamakan maka setiap kali Pancasila diperingati, Orde Baru turut dikenang. Memperingati kesaktian Pancasila mau tidak mau mengenang kepahlawanan Orde Baru. Peringatan dan pengenangan ini melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Untuk itulah peringatan diwajibkan, agar pengenangan berulang, sehingga kekuasaan dilanggengkan.

Ini tidak baru. Mitologi adalah sosiologi kekuasaan. Mitologisasi ideologi adalah sosialisasi kekuasaan, sekaligus legitimasi penguasaan. Orde Baru sudah lakukan itu terhadap Pancasila. Hasilnya buruk. Pembalikan harus dilakukan. Demitologi Pancasila. Kembalikan Pancasila ke ideologi. Karena itu, ia tidak sakti dan tidak perlu disaktikan. Sebagai kesepakatan bernegara, ia hanya perlu dijaga. Sebagai tugas bersama, ia hanya perlu ditunaikan.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 1 Oktober 2010

Tidak ada komentar: