Ketika "History" Sekadar "His Story"
Oleh Frans Anggal
Hari ini, Kamis 30 September 2010, G-30-S genap 45 tahun. Apa yang mengendap dalam ingatan kita? Boleh jadi, pembantaian tujuh jenderal. Dalam buku wajib versi Orde Baru, ini ditonjolkan. Publik seakan dipaksa hanya boleh mengingat kebiadaban PKI. Sedangkan kebiadaban negara membantai ribuan orang PKI tanpa proses peradilan seolah boleh dilupakan.
Atas cara ini, ‘sejarah’ (history) direkonstruksi menjadi sekadar ‘ceritanya dia’ (his story), ceritanya penguasa. Karena ini ‘sejarah‘, peristiwanya harus ada. Sejarah butuhkan peristiwa. Peristiwa butuhkan tokoh. Dan tokoh harus tampil hanya atas dua cara. Mengatasi peristiwa dan/atau tewas dalam peristiwa. Dengan demikian, sejarah dikenang, tokoh diingat.
Pengenangan dan pengingatan itu tak mungkin langgeng tanpa ritus. Maka, tiap tahun, pada titik waktu bernama ‘momen’, ritus dilangsungkan dalam aneka bentuk protokoler. Ada protokoler kenegaraan: upacara bendera dan pidato. Ada protokoler akademik: buku, seminar, dan diskusi. Ada protokoler agama: doa dan renungan. Ada pula protokoler budaya: film dan puisi.
Filosof Rocky Gerung dalam artikel “Ruang Sejarah” (Kompas Selasa 18 November 2008) menyebut gejala ini industri politik baru. Olehnya, “produk sejarah dan produk kebudayaan massa bercampur dalam pasar yang sama: demagogi!” Demagogi dibutuhkan agar sejarah dikenang dan tokoh diingat.
Pengenangan dan pengingatan itu akan melegitimasi kekuasaan. Dan demi legitimasi itu pula, sejarah dan tokoh diseting tidak terpisahkan dan ekslusif. Secara tak terpisahkan: mengenang sejarah berarti mengingat tokohnya. Mengingat tokoh berarti mengenang sejarahnya. Secara eksklusif: sejarah itu haruslah sejarah tokoh. Dan tokoh itu haruslah tokoh bersejarah.
Karena hanya berisi kedua hal itu, history (sejarah) cenderung tidak menjadi true story (kisah sesungguhnya) tapi sekadar menjadi his story (kisah sang penguasa). Ini kita alami selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Nasib sejarah G-30-S pun berada dalam logika seperti ini.
Orde Baru lakukan demagogi yang sukses. Pada masa itu, mengenang G-30-S berarti, pertama, mengingat tokoh Soeharto yang mengatasi peristiwa. Kedua, mengingat tokoh tujuh jenderal yang tewas dalam peristiwa. Ketiga, mengingat tokoh PKI yang menyebabkan peristiwa. Lewat aneka ritus protokoler, publik seakan dipaksa hanya boleh mengingat tiga tokoh itu, titik.
Hari ini, ketika G-30-S genap 45 tahun, masihkah hanya ketiga tokoh itu yang diingat? Tampaknya tidak. Endapan ingatan kita telah banyak berubah. Inilah nasib demagogi. Selalu melemah di senjakala kekuasaan. Setelah Orde Baru jatuh, demagogi itu pun musnah . Sejarah G-30-S pun direkonstruksi kembali. Masih banyak sisi gelapnya yang belum tersibak. History hendak diluruskan jadi true story, tidak lagi sekadar his story.
Sayang, rekonstruksi ini terbentur dinding kekuasaan usang yang menyebut dirinya reformis. Tahun 2007, buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Rossa merupakan salah satu buku terbaik di tingkat dunia. Tapi, di Indonesia, tahun 2009, buku ini dilarang oleh Kejagung.
Lucunya, larangan selalu menjadi iklan gratis. Buku terlarang selalu laris dan selalu lebih dipercaya. Maka, jangan kaget kalau mengenang G-30-S saat ini dst berarti mengenang “pembunuhan massal”. Mengenang kebiadaban negara membantai rakyatnya sendiri, tanpa proses peradilan. Nah, salah siapa?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 30 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar