Polisi Aniaya Warga di Sikka
Oleh Frans Anggal
Tiga personel polisi di Kabupaten Sikka menganiaya seorang warga Kabor saat berlangsung pesta nikah, Minggu dini hari 5 September 2010. Korban sudah lama dincar. Ia masuk daftar pencarian orang (DPO) dalam sebuah kasus pidana. Saat pesta itulah penangkapan dilakukan. Korban pun dianiaya (Flores Pos Selasa 7 September 2010).
“Korban dipukul di bagian wajah, ditendang di rusuk kanan, ditelanjangi, dan dibuang ke dalam mobil patrol polisi.” Demikian keterangan keluarga kepada Kapolres Agus Suryatno. “Akibat perbuatan tiga oknum polisi itu, korban mengalami luka dan tidak bisa beraktivitas.”
Keluarga minta kapolres memproses hukum ketiga polisi. Kapolres sanggupi. “Nama-nama anggota yang melakukan penganiayaan itu sedang dalam pelacakan. Yang pasti, kita serius proses kasus penganiayaan ini sesuai prosedur hukum yang berlaku.”
Ada dua hal dalam kasus ini. Penangkapan dan penganiayaan. Meski berhubungan, keduanya berbeda, dan harus dibedakan. Untuk penangkapan, ketiga polisi patut dipuji. Mereka berhasil tunaikan tugas kenegaraan: meringkus tersangka tindak pidana yang masuk daftar DPO. Mereka gunakan momen yang tepat, saat pesta, saat tersangka lengah.
Tidak demikian untuk penganiayaan. Ketiga polisi patut dipersalahkan. Kalau bisa tangkap tanpa aniaya, kenapa mesti dipersyaratkan sebaliknya: aniaya agar bisa tangkap? Atau, kenapa mesti disejalankan: tangkap sambil aniaya, atau aniaya sambil tangkap? Tidak bisakah menangkap tanpa memukul, menendang, menelanjangi, dan membuang korban ke mobil?
Kita paham, hukum benarkan polisi gunakan kekerasan. Asalkan atas alasan rasional dan tingkat penggunaan proporsional. Kalau tersangka tak berupaya melawan atau melarikan diri, polisi tidak perlu melumpuhkannya. Kalau pelumpuhan terpaksa, dengan dasar dan tujuan tepat, langkah dan caranya sudah diatur dalam prosedur tetap (protap). Dan protap tak menyuruh wajah harus ditinju, rusuk harus ditendang, tubuh harus ditelanjangi.
Cukup kentara, ketiga polisi tidak mengikuti protap. Mereka hanya mengikut prodi (prosedur pribadi). Boleh jadi mereka katakan semua itu spontanitas belaka. Spontanitas bukan pembenaran. Atas nama spontanitas sekalipun, di luar protap, penggunaan kekerasan tetaplah melanggar hukum dan HAM.
Ada dimensi lain yang perlu disadari. Dengan mengikuti protap, polisi adalah “personifikasi negara”. Negara direpresentasi. Karena atas nama negara, tindak kekerasan polisi legal meski masih bisa dipertanyakan secara moral. Sebaliknya dengan mengikut prodi. Polisi bukan lagi personifikasi negara, tapi “personalisasi negara”. Negara dimanipulasi untuk kepentingan pribadi. Karena atas nama pribadi, tindak kekerasan polisi tidak hanya ilegal tapi juga amoral.
Personalisasi tak hanya tulari polisi. Politisi, birokrat, hakim, jaksa, hingga kalangan swasta juga. Ciri utamanya, sifat arbitrer atau ‘ke-semau-gue-an’. Negara-saya-wakili menjadi negara-adalah-saya. Perusahaan-saya-wakili menjadi perusahaan-adalah-saya. Pengelola (manager) di-sama-sebangun-kan dengan pemilik (owner). Suka-sukanya saya. Protap dikalahkan oleh prodi. Struktur, sistem, mekanisme, dan budaya dikangkangi. Personifikasi jadi personalisasi.
Kembali ke kasus penganiayaan. Ketiga polisi tidak cukup hanya dihukum. Mereka perlu disadarkan. Bahwa: polisi itu personifikasi, bukan personalisasi negara. Negara itu direpresentasi, bukan dimanipulasi. Maka, ikuti protap, bukan prodi.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 9 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar