13 September 2010

Telanjang di Nagekeo

Gesekan Bupati vs DPRD

Oleh Frans Anggal

Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh kecewa dengan DPRD. Dewan dinilainya menelanjangi eksekutif di depan rakyat. Maka, ia larang pimpinan SKPD hadir di gedung dewan jika ada warga yang datang mengadu.

“Sedikit-sedikit warga larinya ke dewan. Kalau rakyat ke sana, tak perlu hadirkan eksekutif … dipanggil ke dewan dan ditelanjangi. Itu bukan kemitraan yang baik,” katanya dalam wejangan kepada pimpinan SKPD dan para pegawai, Senin 6 September 2010 (Flores Pos Senin 13 September 2010).

Tanggapan DPRD? Tak ada niat telanjangi eksekutif. Selama ini DPRD panggil eksekutif hanya untuk minta klarifikasi tentang masalah tanah yang sudah bertahun-tahun direkomendasikan dewan tapi belum diselesaikan eksekutif. “Dewan tetap bergandengan tangan dengan pemerintah untuk mencari solusi masalah tanah yang sudah lama,” kata Wakil Ketua Thomas Tiba Owa.

Tidak tergambarkan bagaimana persisnya penelanjangan itu. Secara leksikal, “menelanjangi” bermakna kiasan membuka kedok orang hingga rahasianya (kejahatan dsb) ketahuan. Bisa juga, mengkritik habis-habisan. Dalam pengawasan, itu perlu. Dalam masalah publik, itu berguna.

Bupati Nani Aoh sesungguhnya tidak sedang persoalkan perlu dan bergunanya penelanjangan. Yang ia permasalahkan, caranya. Kenapa harus pada saat rakyat datangi dewan. Ini menelanjangi eksekutif di depan rakyat. Kenapa tidak tunggu momen lain yang diagendakan khusus untuk itu. Saat hearing atau dengar pendapat misalnya.

Dewan punya pikiran lain. Yakni asas pelayanan publik: cepat, mudah, murah. Kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat. Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit. Kalau bisa dibikin murah, kenapa harus dibuat mahal. Kalau minta klarifikasi eksekutif saat warga datang mengadu bisa mempercepat, mempermudah, dan mempermurah penyelesaian masalah, kenapa harus tunggu dengar pendapat.

Di mata bupati, yang dilakukan DPRD itu bukan kemitraan yang baik. Di mata DPRD, apa artinya ‘baik’ kalau rekomedasinya lamban disikapi eksekutif. Kemitraan mengandung makna hubungan kerja saling mendukung. Kontrol dan kritik itu bentuk dukungan juga. Karena itu, kemitraan tidak hanya bertandang, tapi juga bertanding. Dalam batas tertentu, mitra adalah ‘lawan’ (opposite) tapi bukan ‘musuh’ (enemy). Lawan itu meneguhkan. Musuh itu meniadakan.

Kemitraan oposisional jauh lebih bermartabat dan berguna bagi rakyat ketimbang kemitraan salah kaprah. Ada dua macam. Pertama, kemitraan kolusif. Situ bikin apa, sini pasti oke. Kalau legislatif setujui saja kebijakan eksekutif, itu mitra yang baik. Kalau mulai kritik, minta klarifikasi, bikin pansus, itu mitra yang buruk.

Kedua, kemitraan ‘sejajar’ namun tidak dalam pengertian tidak saling membawahi, tapi hanya sebatas ‘sama rata sama rasa’. Rezeki dan fasilitas yang dinikmati eksekutif harus dinikmati juga oleh legislatif. Kalau gubernur pakai mobil mewah, kenapa anggota DPRD provinsi tidak. Sama-sama pejabat negara koq. Maka, atas nama kemitraan yang baik, dana APBD dipinjamkan ke anggota dewan untuk beli mobil pribadi. Rakyat busung lapar, wakilnya busung dada.

Nagekeo patut berbangga. DPRD-nya tidak sedang dalam atau menuju kemitraan salah kaprah. Mereka ‘teguh dalam prinsip’ (fortiter in re). Hanya saja, belum ‘lembut dalam cara’ (suaviter in modo). Yang gerahkan bupati bukan prinsip (res), tapi cara (modus). Telanjangi, silakan. Asal lihat momennya dong.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 14 September 2010

Tidak ada komentar: