Kasus Suap di Ende
Oleh Frans Anggal
Mantan Asisten I Setda Ende, Hendrik Seni, divonis satu tahun penjara dan denda Rp60 juta subsidier satu bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Ende pada sidang Jumat 3 September 2010. Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan penyuapan, yang merugiknan keungan negara (APBD) senilai Rp150 juta (Flores Pos Sabtu 4 September 2010).
Hendrik Seni merasa diperlakukan tidak adil. Tidak hanya karena vonis itu, tapi juga karena hanya dialah yang diproses hukum. Menurut fakta persidangan, yang terlibat langsung dalam proses pencairan Rp150 juta itu banyak orang.
Secara logis, kalau ada yang menyuap, tentu ada yang disuap. Ini yang dipersoalkan oleh penasihat hukum Titus M Tibo. Majelis hakim nyatakan terdakwa terbukti lakukan penyuapan, sedangkan penerima suapnya tidak. Seolah-olah, penyuapan dilakukan di tempat gelap sehingga penerima suap tidak dapat dikenali.
Dari pemberitaan, juga dari fakta persidangan, uang itu diberikan Hendrik Seni kepada Irianto dari BPK NTT. “Pemberi suap terbukti, tetapi yang menerima suap tidak. Ini suap ‘sempurna’,” sindir Titus Tibo. “Saya menggugat keadilan agar motifnya jelas.”
Sindiran Tibo tepat: ini suap ‘sempurna’. Dalam tanda kutip, berarti tidak adil dan tidak rasional. Pemberi suap dihukum, penerimanya tidak: jelas tidak adil. Pemberi suap terbukti, penerimanya tidak: jelas tidak rasional.
Kalau penerima suap tidak terbukti dan karena itu tidak dihukum, maka tindakan memberi suap kehilangan konfirmasi (peneguhan). Secara demikian, yang dilakukan Hendrik Seni lebih tepat disebut “membuang uang”, bukan “memberi suap”. Tindakan “membuang” tidak membutuhkan “penerima”. Tidak demikian dengan tindakan “memberi”.
Kalau tindakan Hendrik Seni tetap divonis sebagai “memberi suap” tanpa terbukti dan terhukumnya “penerima suap”, akal lurus kita terpaksa harus dimiringkan sekian derajat agar dapat menerima sebuah irasionalitas. Bahwa: si terdakwa terbukti memberi suap kepada tuyul. Kenapa tuyul? Tuyul dipercaya ada namun tidak terindrai, tidak empirik. Semua yang tidak empirik tidak bisa dijadikan subjek hukum dan karena itu tidak bisa dihukum.
Vonis ini seakan memberi tip korupsi. Bagaimana kiat luput sebagai penerima suap. Pertama, kalau ingin luputkan diri, berlagak tuyul-lah. Kedua, kalau ingin luputkan orang lain, tuyul-kan dia. Hebat. Kita bisa dirikan perguruan tinggi koruptor, program studi teknik korupsi, strata satu (S1). Yang lulus---lebih tepat lolos dari hukuman---mendapat gelar S.Korp (Sarjana Korupsi).
Mata kuliah keahlian yang bisa diajarkan, antara lain, Korupsi Dasar (8 SKS), Matematika Korupsi (4 SKS), Aplikasi Korupsi (8 SKS), Kapita Selekta Pengantar Bertahan Hidup di Bui (4 SKS). Hidup di bui itu berat, dan harus dihindari, maka diperlukan satu mata kuliah penting: Metodologi Lipat Tapi Luput (4 SKS). Salah satu babnya: kiat men-tuyul-kan diri dan orang lain agar tidak terbukti dan karena itu tidak dihukum meski sudah menerima suap!
Kalau perguruan tinggi itu benar ada, perkara Hendrik Seni layak dijadikan studi kasus bagi para calon sarjana. Ini sebuah contoh sukses kiat men-tuyul-kan diri atau orang lain itu, sedemikian sehingga pemberi suapnya terbukti dan dihukum, sedangkan penerima suapnya tidak. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Senin 6 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar