Nasib Perkampungan Lingkar Tambang
Oleh Frans Anggal
Rombongan Pater Simon Suban Tukan SVD “tertahan” 5 jam di kompleks basecamp pertambangan mangan PT Arumbai di Satar Teu, Kabupaten Manggarai Timur, Minggu 19 September 2010. Mereka masuk kampung Lengko Lolok dalam kawasan lingkar tambang pukul 16.00, dan baru bisa keluar pkl 21.00 (Flores Pos Kamis 23 September 2010).
Kita pakai kata “tertahan”, guna menghindari kontroversi yang bukan fokus sorotan. Ada dua versi. Versi rombongan Pater Simon dan versi perusahaan tambang.
Versi rombongan: mereka ditahan. Di gerbang, saat hendak masuk kampung Lengko Lolok, mereka minta izin satpam. Diizinkan. Mereka pun masuk kampung. Dari warga mereka dapat info, kunjungan ke lokasi tambang sekitar kampung dilarang. Mereka pun pulang. Tapi tak bisa keluar. Gerbang telah digembok. Di situ mereka dicaci maki pekerja dan sekelompok warga. Lama setelah bicara dengan pihak perusahaan dan kapolsek di basecamp, barulah gerbang dibuka.
Versi kepala personlia perusahaan: rombongan tidak ditahan. Yang ditahan cuma mobilnya. “Mereka masuk lokasi pertambangan. Untuk masuk, mereka harus minta izin. Perusahaan tidak izinkan. Mereka sepertinya paksa mau masuk ke lokasi pertambangan di kampung Lengko Lolok. Maka mobilnya diamankan.” Kapolres Hambali juga bantah adanya penahanan.
Ditahan atau tidak, diizinkan atau tidak, bukanlah fokus kita. Meski, “insiden” itu lebih daripada penahanan. Simak adegan awal dan akhirnya. Rombongan diizinkan masuk oleh satpam (gerbang dibuka/terbuka), kemudian tidak izinkan keluar (gerbang digembok). Artinya apa? Rombongan dijebak, diperangkap, untuk kemudian dicaci maki dan ditahan.
Ada yang lebih menyedihkan. Nasib kampung Lengko Lolok. Secara kultural, dengan menjadi bagian kawasan pertambangan, Lengko Lolok bukan lagi ‘kampung’ (beo). Ia sudah tiada. Ia tinggal kenangan. “Insiden” itu menggambarkannya jelas. Untuk masuk Lengko Lolok, rombongan harus minta izin ke perusahaan, bukan (lagi) ke kepala kampung (tu’a golo atau tu’a beo).
Lengko Lolok kehilangan kepala (tu’a). Sudah dipenggal. Sudah digantikan kepala lain. Yang asing. Kepala ‘tamu mampir ngombe’ (meka liba salang). Otoritas kultural dan sosial kampung musnah oleh budaya mesin. Jelas, tambang itu monster. Tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi tatanan sosial dan budaya.
Orang Manggarai kenal mitos empo dehong atau gorak. Si pemenggal kepala. Kepala harus ditumbalkan demi kukuhnya bangunan. Tambang juga butuhkan itu. Maka, ia jadi empo dehong. Orang Lengko Lolok, yang dulu takut pada mitos penggal kepala, kini rela menyodorkan kepalanya dipenggal. Sebuah penghancuran yang nyata, tapi dianggap tidak apa-apa.
Bahkan, sebagian warga yang kepalanya terpenggal, kini pembela dan kaki tangan perusahaan. Mereka turut mencaci maki rombongan. Ini menunjukkan, tidak hanya terpenggal kepalanya, tubuh Lengko Lolok pun terbelah. Sehingga, yang tampak, bukan tambang vs masyarakat (konflik vertikal), tapi masyarakat vs masyarakat (konflik horizontal). Desain devide et impera yang sukses.
Pemkab Manggarai Timur tampak masa bodoh. Yang penting duit masuk kantong daerah dan saku pejabat. Demi politik kekuasaan lima tahunan, daerah dan masyarakat digadaikan. Wah, wah. Leader (pemimpin) telah menjadi dealer (pedagang). Leadership ditaklukkan dealership. Menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar