Kisah Pria Aceh di Flores
Oleh Frans Anggal
Seorang pria asal Aceh diamankan polisi di Borong, Manggarai Timur. Warga curiga ia anggota GAM dan teroris. Dari polsek, si tercuriga dibawa ke polres di Ruteng. Hasil pemeriksaan: tak ada indikasi orang ini hendak lakukan tindak pidana. Ia dipulangkan ke Aceh (Flores Pos Rabu 1 September 2010).
Dari cerita tentang motif kedatangannya, kasus ini termasuk “humor”. Si pria ke Flores untuk temui ‘gadis’ yang dikenalnya via HP. Si ‘gadis’ menjemput di Ende, lalu bersama ke Borong. Di rumah si ‘gadis’ baru si pria sadar: HP itu dunia maya, rumah itu dunia nyata. Di HP itu realitas kamera, di rumah itu realitas empirik. Si ‘gadis’ ternyata janda beranak satu. Ia kecewa. Ingin cepat pulang.
Pulang ke Aceh, tidak mudah. Dari “humor”, kini “horor”. Kalau sebelumnya dialah yang yakin pujaan hatinya itu gadis, kini wargalah yang yakin si pemuja ini teroris. Dari Aceh: pasti ia GAM juga. Rugi dobel dia. Maksud hati boyong nona Borong, apa daya nyatanya mimpi siang bolong. Yang gadis tak ia jumpa, yang sadis ia sua. Diberondong interogasi, hasilnya kosong. Tapi ia merasa sudah ditodong.
Teroris? Tak ada petunjuknya, kata Kapolres Hambali. GAM? Lho, GAM sudah bubar, kata Wakapolres Muhamad Nur. Bahwa di HP-nya ada foto bendera, logo, dan pasukan GAM, itu bukan bukti. Banyak yang simpan foto Hitler tanpa harus jadi Nazi. Lebih mendasar: sebagai subjek hukum, GAM sudah tiada. Bagaimana bisa, menjadi anggota dari sesuatu yang antah.
Boleh jadi, warga di Borong belum tahu GAM bubar. Kalaupun tahu, mungkin mereka belum paham implikasi hukumnya. Bahwa, yang bukan (lagi) subjek hukum tidak dapat dihukum. Tuyul, meski jago nyolong duit, tak bisa disangkakan sebagai koruptor. Tuyul tidak empirik, maka ia bukan subjek hukum. Anjing, meski empirik mengggigit mati seseorang, tidak bisa dinyatakan “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah”. Hewan tak punya akal budi dan kebebasan, maka tak dapat dimintai pertanggungjawaban. Hewan bukanlah subjek hukum.
Boleh jadi, warga di Borong keliru. Maklum, mereka orang sederhana. Yang mencengangkan, negara pun lakukan hal serupa. Yang bukan subjek hukum koq dihukum. Larang PKI, itu rasional. PKI itu organisasi, lembaga, badan: subjek hukum. Tapi larang komunisme? Semua “isme” adalah ideologi, paham, cita-cita, bahkan mimpi. Koq larang orang berpaham, berpikir, bermimpi. Selain gila, itu sia-sia. Tapi justru itulah yang dilakukan Tap MPRS. Ketika Gus Dur usulkan tap ini dicabut, ia dikecam. Kita pun bekanjang dalam irasionalitas.
Kalau negara ngawur, bagaimana mungkin warganya tidak. Juni 2010, sosialisasi pengobatan gratis oleh anggota DPR F-PDIP di Bayuwangi dibubarpaksakan oleh FPI. Alasannya, sebagian peserta ‘berbau’ PKI. Sebagai subjek hukum, PKI sudah tiada. Bagaimana bisa, ‘bau’ dari sesuatu yang antah masih juga dihukum, lagipula oleh yang tidak berwenang untuk itu.
Laku menghukum ‘bau’, jelas salah, tapi bagaimana bisa dihilangkan kalau Tap MPRS yang menggantang ‘asap’ tetap dipertahankan. Kalau ideologi, paham, cita-cita, bahkan mimpi bisa dilarang negara, maka ‘bau’ dari subjek hukum yang sudah tiada pun dianggap dapat disewenang-wenangi warga. Negara telah memberikan contoh buruk!
FPI lakukan itu, karena ‘membaui’ PKI. Warga di Borong lakukan itu, karena ‘membaui’ GAM. Oleh kelalaian negara, warga saling ‘membaui’. Yang dirasa ‘berbau’ disingkirkan. Indonesia bukan (lagi) rumah bersama, tempat si anak hilang dapat kembali tanpa merasa takut diusir.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 2 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar