Kasus Tambang Emas Tebedo & Batu Gosok
Oleh Frans Anggal
Ketua Umum Geram Flores Lembata Florianus Surion mendesak pihak berwenang segera tutup lokasi tambang emas Tebedo dan Batu Gosok, Kabupaten Mabar. Masa laku izin eksplorasi sudah berakhir 9 Juli 2010. Konon alat berat masih ada di lokasi, tapi kegiatannya sudah tak tampak. “Meski begitu, kita tetap desak pihak berwenang segera tutup. Bila perlu umumkan resmi dan terbuka” (Flores Pos Selasa 28 September 2010).
Bagi bupati pemberi izin dan kuasa pertambangan penerima izin, berakhirnya ekplorasi belum tentu berakhirnya usaha. Eksplorasi hanyalah tahap awal setelah survei atau penyelidikan umum yang masih “dapat” dilanjutkan dengan eksploitasi, pengolahan, pemurnian, pengangkutan, dan penjualan.
Dalam praktiknya, “dapat” itu lazim menjadi “harus”. Sekali survei temukan deposit tambang memadai, eksploitasi dan seterusnya tinggal tungggu waktu. Terhalangnya ekploitasi dan seterusnya hanya mungkin oleh faktor luar biasa. Pada kasus Tebedo dan Batu Gosok, untungnya bagi tolak tambang tapi sialnya bagi dukung tambang, faktor luar biasa itu ada. Yakni, pelanggaran hukum.
Pada kasus Tebedo, eksplorasi merambah hutan lindung. Sebenarnya bisa, asal kantongi izin Menhut. Izin Menhut tidak ada. Cuma izin bupati, yang justru tak berwenang untuk itu. Nyata dan jelas, eksplorasi Tebedo itu tindak pidana. Pada kasus Batu Gosok, eksplorasi melanggar perda. Perda 30/2005 Pasal 23 tetapkan Batu Gosok sebagai lokasi wisata komersial. Nyata dan jelas pula, ini tindak pidana.
Tindak pidana inilah faktor luar biasa itu. Ini sudah cukup menjadi dasar kuat menutup usaha pertambangan. Terlepas dari izin eksplorasinya masih berlanjut atau sudah berakhir. Kalau “menutup” mungkin masih harus tunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka “menghentikan” kegiatan sudah seharusnya menjadi tindakan pro iustitia kepolisian. Kegiatan harus “terhenti” karena “dihentikan”, bukan karena “berhenti” sendiri.
Dalam konteks ini, alat berat di lokasi tambang harus dikeluarkan. Lokasi itu harus di-status quo-kan. Bukan hanya kegiatannya yang mesti ditiadakan, tapi juga segala fasilitas yang memungkinkan kegiatan itu. Di sisi lain, ini kasus pidana yang sudah masuk penyidikan. Alat berat itu barang bukti. Kenapa dibiarkan di sana? Semestinya disita dan/atau diparkir di mapolres.
Itu alat beratnya alias “barang bukti”-nya. Lalu, “barang siapa”-nya mana? Sudah setahun kasus Tebedo dan Batu Gosok dilaporkan Geram, tapi sampai sekarang tersangkanya belum ada. Masih calon. “Calon tersangkanya ada. Hanya, untuk sementara, namanya masih kita rahasiakan,” kata Kapolres Samsuri. Lho koq masih calon, padahal BAP-nya sudah P-19. Aneh: BAP tanpa tersangka. Ini “KUHAP Baru” dari Mabar.
Unsur “barang siapa” dalam kasus ini sangat jelas. Bupati yang beri izin serta kuasa pertambangan yang terima izin dan lakukan eksplorasi. Keduanya kena telak. Layak di-tersangka-kan. Tapi, yang layak menurut logika hukum pidana ini jadi tidak nyata di tangan polres. Ada apa?
Maka, bagi Geram dan semua elemen tolak tambang, desakan segera terhadap polres dalam proses hukum kasus Tebedo dan Batu Gosok ada tiga. Pertama, hentikan kegiatan usaha tambang. Kedua, keluarkan semua alat berat dari lokasi tambang. Ketiga, tetapkan tersangka kasus tambang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 29 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar