Tentara Aniaya Warga di Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Di Sikka, menyongsong HUT ke-65 TNI 5 Oktober 2010, panitia gelar aksi donor darah. Darah 50 personel TNI, Polri, dan Pol PP disumbangkan ke RSUD TC Hillers Maumere untuk membantu para pasien. Aksi ini satu dari banyak kegiatan positif lainnya, seperti kerja bakti, anjangsana, dan olahraga (Flores Pos Sabtu 25 September 2010).
Berselang sehari, kebalikannya. Di Nagekeo, tentara Albertus Banggo menganiaya warga. “Saat kami sementara duduk minum (tuak di Pasar Danga), dia tiba-tiba pukul saya. Saya tidak kenal dia, tapi saya kenal dia punya muka. Dia pukul saya tiga kali, dan yang keempat saya tangkis,” tutur Frans Nebha (Flores Pos Senin 27 September 2010).
TNI dalam kontras dua warta. Warta pertama dari Sikka. Warta kedua dari Nagekeo. Warta pertama tentang kegiatan kelembagaan, warta kedua tentang tindakan perseorangan. Warta pertama tentang donor darah, warta kedua tentang ‘donor’ tinju. Warta pertama tentang hal terpuji, warta kedua tentang hal tercela. Warta pertama tentang bantu orang lain hidup, warta kedua tentang bikin orang lain semaput.
Kedua kejadian itu terpisah. Malai dari tempat (locus), waktu (tempus), tindakan (actus), cara (modus), hingga sebab (motivus) kejadian. Semuanya mudah dipilahkan dan gampang dibedakan. Untuk hal seperti ini, orang mudah sepakat. Kesulitan mulai timbul ketika dua peristiwa itu disimpulkan sebagaimana lazimnya selama ini, dan diterima publik seolah-olah benar.
Bahwa: peristiwa pertama itu insitusional (kelembagaan), peristiwa kedua itu personal (perseorangan). Dalam bahasa populernya: yang pertama itu tentang lembaga, yang kedua itu tentang oknum. Sebatas itu, penyimpulannya tidak apa-apa. Menjadi apa-apa kalau penyimpulan makin jauh, seperti lazim pada kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Misalnya begini. Selama personel bertindak disiplin dan berprestasi, ia bagian dari institusi. Tapi begitu menyeleweng dan lakukan pelanggaran, ia adalah orang-perorang. Kalau baik, ia anggota. Kalau buruk, ia oknum. Berpikir seperti ini, secara logis mengandung asimetri, secara etis mengandung ketidakadilan. Sekaligus tak ada tanggung jawab lembaga. Apa salahnya: dalam baik dan buruk, ia tetap anggota. Itu lebih gentleman, logis, dan adil.
Bayangkan kalau cara berpikir yang sama dianut lembaga keluarga. Kalau anak juara kelas, ia anak papa mama. Kalau anak juara buntut, ia entah anak siapa. Ketika anak berprestasi, orangtualah yang bertanggung jawab. Ketika anak terlibat narkoba, si anak sendirilah yang bertanggung jawab. Orangtua cuci tangan, dengan alasan: kami tidak didik dia seperti itu.
Pertanyaan kita: di mana tanggung jawab lembaga keluarga? Pertanyaan yang sama ditujukan kepada semua lembaga negara. Ini tidak hanya menyangkut logika organisasi, tapi juga etika kelembagaan. Tidak benar: kalau anak buah bertindak terpuji, mereka bagian dari lembaga. Kalau anak buah bertindak tercela, mereka seolah dilepas dari afiliasinya.
Ini juga menyangkut etika kepemimpinan. Dalam baik dan buruk, dalam untung dan malang, pemimpin bertanggung jawab terhadap bawahannya.
Dalam spirit inilah kita berharap Kodim 1625 Ngada menyikapi tindakan tercela Albertus Banggo yang pukul orang sampai berdarah-darah. Dia tentara, bukan sekadar oknum. Dia telah menganiaya warga dan merusak citra lembaganya. Hukuman yang pantas wajib diberikan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar